REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan Praperdilan Miryam S Haryani melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang tersebut diagendakan dengan pembacaan jawaban dari KPK.
Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi mengatakan gugatan pemohon (Miryam) yang menganggap bahwa KPK tidak memilik kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan pasal 22 UU nomor 31 Tahun 1999 jo nomor 20 Tahun 2001 adalah tidak benar.
Menurut Setiadi UU tindak pidana korupsi (Tipikor) termasuk bab III, Pasal 22 tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi merupakan kewenangan KPK.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, lanjutnya bahwa KPK memiliki tugas dan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sehingga lanjutnya, seluruh tindak pidana dalam UU Tipikor yang merupakan tindak pidana korupsi maka menjadi kewenangan KPK.
"Maka termohon (KPK) memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan terhadap pasal 22 UU Tipikor," kata Setiadi di dalam ruang sidang utama, PN Jakarat Selatan, Jalan Ampera Raya, Selasa (16/5).
Selain itu Setiadi juga menyatakan bahwa KPK sudah sering menggunakan Pasal 22 UU Tipikor. Yakni pada perkara terdakwa Muchtar Ependy pada 10 Juni 2015, Romi Herton pada 17 Juni 2015, Budi Anton Aljufri dengan nomor 109/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst dan Said Faisal Muchlis dengan nomor 27/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Pbr.
Selanjutnya, KPK juga membantah perihal penyidikan terhadap tersangka pemberi keterangan palsu, Miryam dengan menggunakan Pasal 174 KUHAP. Menurutnya penyidikan terhadap tindak pidana pemberian keterangan palsu didasarkan pada pasal 22 UU Tindak pidana pemberantasan korupsi.
Menurut Setiadi, dalam tindak pidana umum, dalam hal dugaan pemberian keterangan palsu menggunakan Pasal 242 KUHP yang prosedur menggunakan Pasal 174 KUHAP. Sedangkan dalam kasus pidana korupsi terangnya, kasus dugaan pemberian keterangan palsu diatur dalam Pasal 20 jo Pasal 35 UU Tipikor.
"Pasal 20 UU Tipikor ini cakupannya lebih luas dan ancaman hukumnya lebih berat daripada 242 KUHP. Karena memang sesuai dengan latar belakang dibentuknya UU Tipikor bahwa kasus korupsi merupakan extra ordinary crime yang sangat merugikan negara," kata dia.
Kemudian terkait sangkaan pemohon bahwa KPK kurang alat bukti dalam penetapan status tersangka kepada Miryam, jelas Setiadi membantahnya. Menurutnya penetapan pemohon (Miryam) sebagai tersangka telah memenuhi bukti permulaan yang cukup.
"Kami sudah cukup bukti, sehingga dalil pemohon yang menyatakan bahwa penetapan tersangka atas nama pemohon (Miryam) diterbitkan tanpa adanya dua alat bukti adalah tidak benar dan tidak berdasar," kata Setiadi.
Adapun bukti-bukti yang dimaksud di antaranya berita acara pemeriksaan saksi atas nama Miryam, tulisan tangan Miryam pada saat dimintai keterangan dalam penyidikan, konsep revisi BAP Miryam, saksi Elsa Syarif dan saksi Yosep Sumartono.
Kemudian bukti petunjuk merupakan rekaman video persidangan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di PN Jakarta Pusat serta rekaman pemeriksaan pemohon.