Ahad 14 May 2017 21:13 WIB

Pengamat: Pasal Penodaan Agama Justru Bisa Jaga Kerukunan Bangsa

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, pasal 156a KUHP tentang penodaan agama adalah pasal karet. Namun demikian, pasal tersebut tidak harus dihapus, mengingat masih sangat positif dan dibutuhkan di Indonesia.

"Pasal 156a KUHP memang pasal karet dan harus diperbaiki agar ada kepastian hukumnya. Tetapi pasal 156a ini masih hukum positif yang berlaku di Indonesia," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/5).

Fickar melanjutkan, jika ditelusuri sejarah Pasal 156a KUHP, akan sampai pada satu kesimpulan, masih tetap harus ada koridor hukum yang dapat menjaga kerukunan umat beragama. Sehingga tercipta rasa saling hormat menghormati, saling menghargai dalam kebinekaan.

"Harus dibedakan antara kebebasan berpikiran dan berpendapat dengan penistaan terhadal agama. Maka kehadiran pasal dan ketentuan ini masih tetap diperlukan," ucap Fickar.

Fickar menjabarkan, penistaan agama diatur dalam buku 2 bab xvi KUHP di bawah Bab Ketertiban Umum. Menurutnya, pada awalnya dalam KUHP tidak diatur delik yang berkenaan dengan penistaan agama, yang ada adlh delik penistaan golongan (pasal 156).

Namun, pada sekitar tahun 1960, terjadilah kasus orang menginjak-injak Alquran, tetapi sulit dibawa keranah hukum karena adanya kekosongan hukum. Berdasarkan Pasal 4 Penetapan Presidan (Penpres) No. 1 Tahun 1965 dimasukkanlah Pasal 156a kedalam KUHP yang diselipkan di antara pasal 156 dan 157, dalam rangka melindungi kenyamanan ummat beragama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement