Ahad 14 May 2017 10:58 WIB

Pengamat Beberkan Bahaya Jika Pasal Penodaan Agama Dihapus

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ani Nursalikah
Penistaan agama.    (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Penistaan agama. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengkhawatirkan akan terjadi banyak penistaan terhadap agama jika pasal 156a KUHP tentang penodaan agama dihapuskan. Bahkan menurutnya, penghapusan pasal tersebut bisa menciptakan suasana tidak lagi saling menghormati antarumat beragama.

"Akan terjadi banyak penistaan terhadap ajaran agama (jika pasal penodaan agama dihapus). Tidak lagi saling menghormati antar umat beragama karena orang boleh seenaknya menista agama," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/5).

Fickar menjelaskan, pasal 156a KUHP memang pasal karet. Meski begitu, bukan berarti pasal tersebut harus dihapuskan, melainkan harus diperbaiki supaya ada kepastian hukum.

"Pasal 156a KUHP memang pasal karet dan harus diperbaiki agar ada kepastian hukumnya. Tetapi pasal 156a ini masih hukum positif yang berlaku di Indonesia," kata Fickar.

Fickar melanjutkan, jika ditelusuri sejarah pasal 156a KUHP, akan sampai pada satu kesimpulan, masih tetap harus ada koridor hukum yang dapat menjaga kerukunan umat beragama sehingga tercipta rasa saling hormat menghormati, saling menghargai dalam kebinekaan.

"Harus dibedakan antara kebebasan berpikir dan berpendapat dengan penistaan terhadap agama. Maka kehadiran pasal dan ketentuan ini masih tetap diperlukan," ucap Fickar.

Setelah pembacaan vonis bagi terpidana penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, banyak yang menyuarakan penghapusan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Beberapa orang antropolog menemui Presiden Jokowi dan meminta pasal tersebut dihapus karena dianggap pasal karet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement