REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman dua tahun penjara. Dalam pertimbangannya, hakim menilai Ahok sendiri yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Dwiarso Budi Santiarto menyatakan permasalahan ini bukan karena adanya pertentangan antara Ahok dan pihak lain.
"Pembelaan penasihat hukum, yang pada pokoknya mempersoalkan keterangan ahli yang harus diabaikan karena ahli punya kepentingan dan berafiliasi kepada FPI dan MUI. Pengadilan berpendapat pokok masalah bukan antara terdakwa, MUI dan FPI," kata majelis hakim dalam membaca pertimbangan putusan di Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Pertimbangan ini merespon pembelaan tim kuasa hukum Ahok. Dalam pembelaan sebelumnya, tim kuasa hukum Ahok menempatkan Ahok pada posisi seolah-olah menjadi korban anti kebhinekaan. Namun, Majelis Hakim tidak menyetujui pembelaan itu.
Majelis hakim menegaskan jika Ahok adalah penyebab perkara ini sendiri. Hal ini dilakukan Ahok dalam pidatonya di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu 27 September 2016 silam. Menurut majelis hakim, perkataan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 itu menimbulkan kegaduhan bagi masyarakat Indonesia
"Sebagai gubernur sekaligus pelayan masyarakat harus mempunyai sifat kenegarawanan. Harus jujur dan sopan santun sehingga menjadi teladan," ucap majelis hakim menambahkan.
Majelis hakim pun menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP dengan tuntutan maksimal lima tahun penjara. Ahok pun divonis hukuman pidana dua tahun penjara. Selain itu, majelis hakim menetapkan penahanan Ahok segera setelah putusan diketok palu.