REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan vonis terhadap terdakwa penistaan agama, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) cukup ringan jika dibandingkan kasus serupa di beberapa daerah.
"Kalau kita bandingkan dengan kasus-kasus penodaan agama yang lain yang sudah divonis, vonis terhadap Ahok cukup ringan. Beberapa kasus penodaan agama di Jakarta, Bali dan Pangkal Pinang, dijatuhi hukuman 4 tahun, lebih lama dua tahun dibanding Ahok," katanya lewat keterangan tertulis, Selasa (9/5).
Seperti diketahui, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akhirnya divonis dua tahun penjara karena menurut majelis hakim, Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama terkait Surah al Maidah, melanggar Pasal 156a KUHP. Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Ahok dimasukkan ke dalam tahanan, yang harus dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum.
Vonnis yang dijatuhkah majelis hakim PN Jakarta Utara itu memang lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya menuntut Ahok dipidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
"Seperti saya katakan dua minggu yang lalu, hakim bisa saja menghukum Ahok lebih berat dari tuntutan jaksa. Vonis seperti itu disebut vonis ultra petita. Hakim beralasan bahwa mereka bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu, rasa keadilanlah yang dikedepankan, bukan sekadar tuntutan jaksa yang dibacakan di persidangan," katanya.
Ia pun menegaskan apapun vonis yang dijatuhkan pada seseorang, apalagi Ahok, pastilah menjadi vonis yang kontroversial. Bagi yang suka, vonis itu dianggap terlalu berat. Mereka bahkan ingin agar terdakwa diputus bebas karena mereka anggap tidak bersalah.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak suka, hukuman yang dijatuhkan kepada Ahok, pastilah dianggap terlalu ringan. Mereka, bahkan ingin agar terdakwa dihukum seberat-beratnya.
Ahok sendiri sudah menyatakan banding atas putusan pengadilan hari ini. Belum tahu seperti apa sikap jaksa.