Senin 08 May 2017 19:52 WIB

Pemuda Muhammadiyah: Hakim Jangan Ragu Vonis Ahok

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, Faisal mengingatkan agar Hakim tetap bersikap berani jelang putusan persidangan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok. Menurut Faisal sebaiknya hakim betul betul mempertimbangkan beberapa hal.

Pertama menurutnya, hakim dalam memutus dalam perkara ahok tidak boleh dengan "keraguan". Biasanya kalau hakim ragu dia selalu saja berpegang pada asas 'In Dubio Pro Reo' yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak, maka yang terjadi akan menguntungkan bagi Terdakwa.

"Dalam hal ini harapan kita hakim jangan ragu sedikitpun untuk menjatuhkan vonis 156 huruf (a) kepada terdakwa karena semua pertimbangan alat bukti sudah diuraikan cukup baik," kata Faisal kepada Republika.co.id, Senin (8/5).

Kedua, lanjut dia, patut diketahui jika sistem pembuktian pidana kita lebih terikat pada sistem 'Negatief Wettelijk', yaitu keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah. Menurut UU sebagaimana yang disebut dalam 183 KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan pidana sekurang-kurangnya gunakan dua alat bukti yang sah dan berbasis pada keyakinan hakim.

Pada kesimpulannya lebih dari dua alat bukti, jika terdakwa langgar 156a huruf (a) dan keyakinan hakim harus pula perhatikan keadilan publik yang terus menerus disuarakan oleh umat.

Ketiga, terang dia, dalam prakteknya hakim boleh melakukan Ultra Petitum yaitu penjatuhan putusan melebihi dari tuntutan JPU sepanjang itu benar secara hukum dan keadilan. Berdasar pada tiga pertimbangan di atas, ia berharap hakim juga melihat fakta yuridis yang menjadi konstruksi hukum pasal 156a huruf (a).

Fakta Yuridis yang ia maksud baik unsur subyektif terdakwa berdasarkan pengetahuan dan kehendaknya sudah secara nyata Sengaja melakukan perbuatan penodaan agama. Apalagi unsur obyektif diketahui oleh siapapun jika perbuatan itu dilakukan dimuka umum oleh terdakwa.

Maka mendasarkan pada prinsip dasar dari kedua unsur yang dimaksud pasal 156a huruf (a) begitu jelas jika perbuatan terdakwa telah mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat penodaan agama.

Sehingga Hakim dalam memvonis tidak perlu terbebani dengan Tuntutan JPU yang lebih memilih pasal 156 dengan pidana yang begitu ringan. Apalagi tuntutan JPU itu telah Pemuda Muhammadiyah adukan ke Komisi Kejaksaan dengan aduan indikasi tidak adanya independensi penuntutan.

"Semoga hakim dapat menengok suasana kebatinan umat. Yang secara sosiologis sudah cukup terwakili melalui pendapat dan sikap keagamaan MUI yang menyatakan perbuatan ahok merupakan perbuatan yang menista agama," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement