REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kandidat termuda Presiden Prancis Emmanuel Macron mendapatkan suara tertinggi pada pemilihan presiden putaran kedua, Ahad (7/5) waktu setempat. Dalam pidato kemenangannya, ia berjanji akan menjamin persatuan di Prancis.
Ia mengakui akan mengemban tugas besar ke depannya. Dalam pemilihan suara tersebut ia memperoleh 65,5 persen, sedangkan kandidat sayap kanan Marine Le Pen memperoleh 34,5 persen suara.
Le Pen langsung mengakui kemenangan mantan menteri ekonomi berusia 39 tahun itu. Di hadapan pendukungnya di ujung timur Prancis, Le Pen mengaku sudah menghubungi Macron dan mengucapkan selamat kepadanya. Menurutnya warga Prancis telah memilih untuk 'keberlanjutan'.
Sementara pendukung Macron yang sudah mendengar kabar tersebut langsung mengibarkan bendera nasionalnya merah, putih, biru dan menyanyikan lagu kebangsaan di depan Museum Louvre dengan penuh haru. Dan di sana pula Macron menyerukan kepada Eropa dan dunia agar melihat Prancis yang akan mempertahankan pencerahan dan 'mengancam' di banyak tempat.
"Prancis telah menang, semua orang mengatakan itu tidak mungkin. Tapi mereka tidak mengenal Prancis!" Katanya di hadapan pendukungnya, dilansir Sky News, Senin (8/5).
Pidato kemenangan Macron juga diwarnai dengan serangkaian kesalahan berbicara di atas panggung. Padahal saat itu ia sedang siaran langsung di televisi di markas partainya. Jelas bahwa dia belum siap, terlebih saat asistennya masih memakaikan make up untuknya dan dia sedang mempraktikkan pidatonya di depan siaran langsung itu.
Kemudian ketika dia memulai pernyataannya, dia sudah menyampaikannya dengan serius. Namun ternyata dia menghadap ke kamera yang salah. Media harus memotong beberapa bagian kesalahannya tersebut.
"Saya tahu perpecahan di negara kita, yang membuat sebagian orang memilih yang ekstrem. Saya menghormati mereka," ujarnya dalam siaran langsung tersebut. Saya tahu kemarahan, kegelisahan, dan keraguan dari Anda sangat banyak untuk diungkapkan. Dan saya harus mendengarkannya. Saya akan bekerja untuk menciptakan hubungan antara Eropa dan masyarakatnya, antara Eropa dan warga negara."
Kemenangan Macron juga merupakan kondisi yang menakjubkan bagi perpolitikan Prancis. Di mana mantan bankir yang baru saja mendirikan partai En Marche (On The Move) pada tahun lalu, yang belum pernah menjabat di kantor publik karena terpilih dalam suatu pemilihan umum.
Pemilihan kali ini juga menandakan sebuah pergeseran politik luar biasa di Prancis. Di mana partai-partai tengah kanan dan tengah kiri jatuh di putaran pertama. Ini pertama kalinya sejak Charles de Gaulle mendirikan Republik Kelima pada tahun 1958.