Sabtu 06 May 2017 05:00 WIB

Mengkritisi Pembahasan Ormas Radikal

Husain Yatmono
Foto: dok.Pribadi
Husain Yatmono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Husain Yatmono *)

Kapolri Jendral Tito Karnavian, mendukung pembubaran ormas-ormas yang tidak sesuai dengan prinsip nasionalisme dan yang berusaha memecah belah bangsa Indonesia. “Kelompok apapun yang bertujuan memecah belah bangsa, tidak diperbolehkan,” terang Kapolri. Pernyataan ini disampaikan Kapolri, saat menghadiri pembukaan Kongres ke III, Pimpinan Pusat Pencak Silat Pagar Nusa (PSNU) di Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu 3 Mei 2017. (http://khazanah.republika.co.id, 3 Mei 2017).

   

Wacana Kapolri untuk pembubaran organisasi masyarakat (ormas) yang bertujuan memecah belah bangsa, patut diapresiasi. Namun tentu saja, tindakan ini harus dilakukan dengan profesional dan adil sebagai mana moto polisi, “melayani dan mengayomi masyarakat”. Untuk mematangkan wacana tersebut, Polri telah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan di Polhukam.

Janganlah pembubaran itu dilakukan karena sikap kritis ormas tersebut terhadap kebijakan pemerintah atau karena ada kelompok lain yang tidak suka. Jika hal ini yang dilakukan, justru akan menimbulkan masalah dan kegaduhan yang akan membuat ketidakstabilan di negeri ini. Polisi bisa menggundang ormas yang ditenggarai sebagai pemecah belah dan mengancam NKRI untuk berdiskusi, sehingga bisa mendapatkan informasi yang valid, tidak sekedar praduga.

   

Karena faktanya, ada ormas yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI, tidak sejalan dengan dasar negara namun tidak pernah mendapatkan perlakuan akan dibubarkan. Sebut saja, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka telah angkat senjata melawan aparat TNI dan Polisi di Papua serta dengan jelas mengatakan akan mendirikan negara Papua Merdeka, yang berarti memecah belah bangsa Indonesia.

Janganlah kita menggulang sejarah kelam negeri ini yang telah susah payah diperjuangkan oleh ulama dan umat Islam, tapi akhirnya mereka tidak bisa menikmati hidup sejahtera di negeri sendiri. Penguasa lebih suka berkolaborasi dengan kelompok kapitalis liberal dalam menggelola negeri ini, daripada berkolaborasi dengan kelompok Islam. Setiap kebijakan pembangunan negeri ini harus sejalan dengan kepentingan pemilik modal (Kapitalis). Sementara, umat Islam (ormas Islam) yang melakukan kontrol atau kritis terhadap kebijakan pemerintah dipandang sebagai pengacau yang harus diberangus.

Kebijakan seperti ini sudah dibangun sejak Orde Lama, Order Baru hingga berlanjut sampai sekarang. Meski penguasa telah berganti, namun kebijakan diskriminasi terhadap kelompok Islam yang kritis tidak pernah berakhir. Kebijakan dikotomi Islam politik, Islam moderat dan Islam ritual dimaksudkan untuk mengontrol mereka. Hal ini pula yang bisa dengan mudah menjadi alat bagi penguasa dan kroninya untuk melakukan proxy war. Kebangkitan kelompok Islam di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, karena memang mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam dan mereka berhak mengatur hidup dengan keyakinannya.

Sepanjang catatan sejarah Indonesia, pembubaran partai politik pernah juga dilakukan di masa Presiden Soekarno. Kala itu, Partai Masyumi, partai politik Islam, dideklarasikan saat Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 7-8 November 1945/1-2 Dzulhijjah 1364. Adapun yang menjadi pelopor berdirinya partai tersebut adalah Mohammad Roem bersama sejumlah aktivis pergerakan Islam.

Partai Masyumi dipimpin oleh Hadratus Syaikh KH M Hasjim Asj’ari (Ketua Umum Majelis Syuro), dan Dr Soekiman Wirjosandjojo (Ketua Pengurus Besar), Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum Masyumi) dan Mohammad Roem sebagai aggota. Melalui Keputusan Presiden No. 200/1960 dan Penetapan Presiden No. 7/1959 Partai Masyumi dibubarkan.

Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) mengajukan gugatan terhadap Presiden Soekarno dan meminta Pengadilan untuk membatalkan Keputusan Presiden No. 200/1960 dan Penetapan Presiden No. 7/1959, dan Mohammad Roem ditunjuk menjadi pengacara Masyumi. (http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam)

   

Presiden Soekarno melarang Partai Masyumi karena masalah politis, menggangap bahwa Masyumi ingin mengatur negara ini dengan syariah Islam. Namun kebijakan Soekarno di masa Orde Lama setelah menolak Masyumi, waktu itu apa memang sesuai dengan konsep Pancasila? Sejarah telah mencatat bahwa kebijakan Soekarno lebih berpihak kepada Sosialisme yang bergandeng tangan dengan komunisme RRC.

   

Saat Soeharto menjadi Presiden, telah menghabisi komunisme dari negeri ini, yang dikenal dengan masa Orde Baru. Selama memerintah pun, Soeharto banyak menghabisi lawan politiknya yang berideologi Islam dengan alasan bertentangan dengan Pancasila. Artinya Pancasila seringkali dijadikan alat berkuasa bagi dan untuk menghabisi lawan politik. 

Sejak berkuasa, Soeharto yang memulai bercokolnya investasi asing di Indonesia, menyerahkan penggelolaan tambang emas yang ada di Irian Jaya (Papua) kepada Freeport Amerika bahkan hingga sekarang. Meski sudah berkali-kali perusahaan ini mengemplang pajak, tidak mengikuti ketentuan pemerintah Indonesia, namun tetap eksis menguasai tambang emas tersebut. Apakah model kebijakan yang diterapkan seperti ini juga sesuai dengan Pancasila?

Mengapa saat berbicara tentang penggelolaan sumber daya alam dan ekonomi, stempel becah belah, anti-Pancasila tidak pernah diberikan pada kelompok atau partai yang menyerahkan kepada investor asing? Apakah kebijakan mereka sejalan dengan konsep Pancasila?

Setiap warga negara Indonesia dijamin oleh hukum dan undang-undang untuk berserikat dengan berkumpul untuk menyuarakan pendapat di depan umum, melalui partai atau ormas. Keberadaan mereka diperlukan sebagai penyimbang atau kontrol atas pelaksanaan pembangunan di negara ini. Pemerintah tidak perlu risih mendapatkan kritik dari kelompok tersebut, justru itu merupakan tantanggan pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka bekerja dengan baik melayani kepentingan rakyat.

Kalau kita jeli mengamati, justru ideologi kapitalisme liberal inilah yang telah menyebabkan negeri kita terpuruk. Inilah sebenarnya musuh utama negeri ini yang harus dilawan semua elemen masyarakat. Janganlah kita mudah diadu domba untuk kepentingan eksistensi kelompok kapitalis liberal ini. Sebagaimana dulu penjajah juga melakukan hal sama terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Janganlah terperosok pada lubang yang sama.

*Pemerhati Pendidikan dan Sospol

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement