Rabu 03 May 2017 13:08 WIB

KPK Jadwalkan Pemeriksaan Dua Saksi Kasus BLBI

Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/4).
Foto: Antara/Reno Esnir
Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadwalkan memeriksa dua orang saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberikan surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN. "Dua orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (3/5).

Dua saksi yang dijadwalkan diperiksa itu, yakni dua orang dari swasta, yaitu Dira Kurniawan Mochtar dan Stephanus Eka Dasawarsa Sutanto. KPK akan mendalami informasi soal pengambilan kebijakan dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp 4,8 triliun sehingga merugikan negara Rp 3,7 triliun dengan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sebelumnya, pada Selasa (2/5), Febri menyatakan, KPK ingin mendalami apa yang terjadi pada rentang waktu tersebut dan juga informasi-informasi tentang apakah pengambilan kebijakan sesuai dengan prosedur saat itu.  "Dilakukan berdasarkan aturan apa, kemudian kronologis pengambilan kebijakannya seperti apa dan jika dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya obligor masih memiliki kewajiban namun kemudian diterbitkan SKL itu diduga melanggar apa," kata Febri.

Pada Selasa (2/5) memeriksa Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli.  Seusai diperiksa KPK, Rizal menyatakan, bahwa kasus BLBI tidak bisa dilepaskan peranannya dari tekanan IMF kepada Indonesia. "Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis, negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam persen, dua persen bahkan nol persen," kata Rizal.

Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen. "Sebelum Managing Director IMF, Michael Camdessus ketemu Pak Harto pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom, saya satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia karena pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada lebih bikin bagus," katanya.

Pada saat itu, kata Rizal, IMF menyarankan agar tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan yang sehat menjadi bangkrut dengan bunga 80 persen tersebut. "IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998 tetapi begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank Indonesia apalagi bank swasta pada mau tarik uangnya seperti BCA dan Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik BLBI pada mata uang dolar AS pada waktu itu 80 miliar dolar AS," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement