REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Peringati Hari Buruh Internasional (May Day), puluhan massa yang tergabung dalam Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Indramayu menggelar aksi damai, Senin (1/5). Dalam aksinya, mereka menuntut adanya perhatian dari Pemkab Indramayu.
Massa yang datang dengan membawa berbagai spanduk berisi sejumlah nama tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sedang tersandung masalah di luar negeri itu menggelar aksi di Bunderan Mangga Kabupaten Indramayu. Tak hanya berorasi, mereka juga menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan nasib buruh migran yang mengalami kekerasan.
Dalam orasinya, massa mengungkapkan besarnya peran buruh migran bagi perekonomian daerah maupun negara. Namun sayang, perlindungan terhadap para buruh migran masih rendah, terutama di Kabupaten Indramayu.
Ketua SBMI Kabupten Indramayu, Juwarih menyebutkan, Kabupaten Indramayu adalah daerah pengirim buruh migran terbesar kedua se-Indonesia, setelah Lombok Timur. Berdasarkan data BNP2TKI, buruh migran asal Kabupaten Indramayu yang berangkat ke luar negeri pada 2016-2017 tercatat ada 20.199 orang.
Data yang tercatat di BNP2TKI itu diyakini lebih kecil dibandingkan data yang sebenarnya. Pasalnya, hingga kini masih marak penempatan buruh migran secara tidak prosedur ke sejumlah negara di Timur Tengah dan Malaysia. "(Di Indramayu) kondisi itu terjadi akibat lalainya Pemkab Indramayu dalam memberikan perlindungan buruh migran,’’ kata Juwarih.
Juwarih mencontohkan, pengiriman TKI ilegal asal Kabupaten Indramayu di antaranya menimpa 19 orang yang ditempatkan ke Malaysia. Para TKI ilegal itu diberangkatkan oleh pasangan suami istri berinisial NW dan NA, asal Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu pada 2014.
"Kasus itu seperti fenomena gunung es yang tampak kecil di permukaan, tapi sangat besar di bawah permukaan. Jika dikuak lebih dalam, mereka tereksploitasi secara fisik, psikis, dan ekonomi,’’ kata Juwarih.
Berdasarkan data SBMI Indramayu, sepanjang 2016-2017, tercatat ada 58 kasus yang dialami TKI asal Indramayu di luar negeri, yang dilaporkan ke SBMI. Dari 58 kasus itu, sebanyak 17 kasus terjadi di Asia Pacifik dan 41 kasus di Timur Tengah.
Adapun kasus itu di antaranya menimpa Rusminiwati, yang dijatuhi hukuman pancung, namun kemudian diringankan menjadi 12 tahun. Selain itu, adapula Ruminah yang dijual oleh mafia trafficking ke Suriah. "Lalu apa peran pemerintah daerah dalam pembelaan kepada para TKI itu? Tidak ada! Keluarga TKI itu dibiarkan tanpa kehadiran Pemkab Indramayu,’’ kata Juwarih.
Bertepatan dengan May Day, SBMI Indramayu pun menuntut Pemkab lebih peduli pada perlindungan nasib buruh migran. Di antaranya dengan segera menerbitkan peraturan yang melindungi buruh migran, yang terpisah dari Perda tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu, membangun sistem informasi yang bisa diakses oleh buruh migran dan keluarganya, terutama informasi mengenai tata cara bekerja ke luar negeri, persyaratan, besaran biaya, dan lowongan kerja yang dilegalkan oleh BNP2TKI melalui Surat Ijin Pengerahan.
Massa pun menuntut Pemkab Indramayu agar merevitalisasi Balai Latihan Kerja agar calon buruh migran tidak harus mengikuti pelatihan di penampungan PPTKIS yang biayanya sangat mahal. Tak hanya itu, mereka mendorong penerbitan peraturan desa yang melindungi buruh migran dari resiko dan bahaya tindak pidana perdagangan orang.
"Kami juga mendorong penegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan dalam tindak pidana penempatan dan tindak pidana perdagangan orang agar memberikan efek jera,’’ kata Juwarih.
Juwarih menambahkan, Pemkab Indramayu juga harus meningkatkan program reintegrasi dan rehabilitasi terhadap buruh migran yang mengalami permasalahan dan korban tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian, buruh migran yang tersandung masalah bisa tertolong.