REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- LSM Public Center Kota Tasikmalaya meminta penghentian atas pembangunan perumahan. LSM itu menilai pembangunan perumahan justru menjadi ladang subur atas pelanggaran alihfungsi lahan pertanian.
Ketua Public Center, Agung Zulfiana mengatakan lahan pertanian cenderung tak mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga lahan pertanian terus berkurang tiap tahun tanpa ada upaya melindungi. Kata dia, berdasarkan Undang-Undang no 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PL2B), sebenarnya sudah mengatur hal tersebut.
"Perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian pangan belum ada, perangkatnya belum ada. Di perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), hampir tidak ada, bayangkan kalau lahan pertanian mau dialihfungsikan harus diganti tuh lahannya sebenarnya," katanya pada Republika dalam audiensinya bersama Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Tasikmalaya, Selasa (25/4).
Berdasarkan UU itu, ia mencontohkan jika tanah irigasi seluas tiga hektar digunakan untuk perumahan maka harus ada penggantinya dengan luas tiga kali lipat. Begitupun dengan alihfungsi terhadap areal lainnya juga terdapat ketentuan khusus tentang penggantiannya. Tetapi, ia menilai pihak pengembang perumahan justru tak menaati aturan tersebut.
"Jangankan untuk perumahan, lahan pertanian yang dialihkan jadi untuk kepentingan publik seperti jalan atau bandara saja harus ada penggantinya diatur di pasal 44," ujarnya.
Atas dasar itulah, ia meminta adanya moratorium terhadap pembanguan perumahan di Kota Tasik. Alasannya, pembangunan perumahan bertentangan dengan prinsip PL2B. "Kami mendorong moratorium perumahan karena kondisi lahan pertanian di Tasik ini sudah kritis," ucapnya.