REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menerima hasil real count KPU DKI 100 persen soal pilkada DKI 2017, terlihat jelas mana lembaga survei yang memberikan hasil sesuai metodologi dan mana lembaga survei 'titipan'. Pengamat Politik, Zaenal A Budiyono mengatakan sebagai pengembangan dari ilmu pengetahuan, survei bisa salah, namanya juga kerja manusia, selalu ada ruang untuk error.
"Namun survei tidak boleh bohong, dalam arti mereka mempublikasikan hasil yang di luar temuan aslinya. Biasanya karena intervensi pihak tertentu atau faktor lainnya," ujar Zaenal, Sabtu (22/4) siang.
Menurut Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) ini, pada kasus Pilkada DKI Jakarta, analis sebelumnya mengatakan bahwa perlu ada kartu merah untuk lembaga survei yang gagal memprediksi Pilkada Jakarta, seperti yang diterima Charta Politica, SMRC dan Indikator.
Menurut Zaenal, tanpa kartu merah pun, seharusnya secara otomatis audit dilakukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi) kepada anggotanya (lembaga survei) yang merilis survei dengan hasil berbeda. "Lucunya, hari ini cerita yang sama muncul lagi, yang berarti mereka tak pernah belajar dari kesalahan masa lalu," ujar dia.
Audit, menurut Pengajar FISIP Univ Al Azhar Indonesia ini berguna untuk menemukan apakah kegagalan memprediksi Pilkada terjadi karena kesalahan natural atau hal yang lain. Zaenal menganggap sejauh ini Aropi belum banyak melakukan gebrakan penting dalam menertibkan anggotanya.
KPU sendiri, menurut Zaenal, telah mengantisipasi kemungkinan munculnya lembaga-lembaga survei yang tidak kredibel sejak awal Pilkada serentak. Berdasarkan Pasal 43 PKPU disebutkan bahwa lembaga survei tidak boleh berpihak dan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.
Dia juga menambahkan, lembaga survei tidak boleh mengganggu tahapan pilkada, dan harus menjaga situasi tetap kondusif, lancar, tertib dan bisa meningkatkan partisipasi publik. "Dari pasal itu, bila kita potretkan ke kondisi lembaga survei hari ini, hampir semuanya dilanggar," ungkap Zaenal.
Faktanya, menurut dia banyak lembaga survei yang menjadi timses kedua kandidat. Zaenal berharap hal seperti ini segera dihentikan agar tidak terjadi bias antara lembaga-lembaga survey.
Dia juga beranggapan lembaga survey banyak yang mempublikasikan hasil yang berbeda dan membingungkan masyarakat. "Seharusnya jika menggunakan kaidah ilmiah, maka hasilnya akan mirip," ungkap dia.