Sabtu 22 Apr 2017 07:42 WIB

Perempuan Harus Semangat Lawan Kemiskinan

Perempuan pekerja
Foto: Edwin/Republika
Perempuan pekerja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan Hari Kartini sudah seharusnya diperingati dengan menelusuri jejak-jejak kontribusi Kartini terhadap hak asasi manusia, terutama menyalakan semangatnya melawan pemiskinan, kolonialisme dan feodalisme.

"Semangat cinta tanah air, sebelum Indonesia terbentuk, Kartini merintis dengan merebut ruang pendidikan perempuan pribumi sebagai gugatan atas feodalisme dan kolonialisme, karena pendidikan adalah pintu bagi hak sipil politik dan sosial budaya," kata Yuniyati, Jakarta, Jumat (21/4).

Kartini, kata Yuniyati, menggugat kolonialisme yang mengundang pemiskinan ekstrem dengan melakukan tanam paksa untuk memenuhi kas kolonial yang kosong. Berkaca dari hal ini, konteks pemiskinan perempuan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia telah menjadi perhatian dan keprihatinan Kartini.

"Karena kolonialisme, walaupun berlalu satu abad lebih, tak banyak berubah, hanya beda nama aktor dan pola. Lebih memprihatinkan rakyat miskin berhadapan dengan pemerintahannya sendiri," ucap dia.

Menurut Yuniyati, pilihan model pembangunan di Indonesia membuka peluang investasi dan penanaman modal di berbagai sektor, utamanya pertambangan dan kehutanan, melalui UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU No 5 Tahun 1967 tentang Pertambangan.

Model pembangunan ini menarik minat banyak investor untuk menanamkan modal, baik lembaga keuangan internasional maupun korporasi transnasional sekaligus menerima tawaran investor untuk melakukan perubahan kebijakan yang memberi jaminan keuntungan pada korporasi.

"Namun lahirnya kebijakan ini membawa arah pembangunan pada pemikiran yang monokultur. Diskursus pembangunan ini telah melahirkan dikotomi yang merugikan perempuan, mengabaikan pengetahuan perempuan tentang lingkungan dan mengabaikan alternatif pengetahuan lokal," ucap dia.

Pembangunan ekonomi semacam ini merusak sumber daya subsistem perempuan, mengukuhkan subordinasi sosial perempuan dan mengundang kekerasan.

"Pilihan model pembangunan seperti ini juga telah menyingkirkan warga negara dari lahan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Desain pembangunan ekonomi ini telah memicu kerugian sosial yang sistematis, mengabaikan suara/partisipasi warga dan tindakan yang berlebihan/represif dari negara," ucap dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement