REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanggapi pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang ke-19 kasus dugaan penistaan agama, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir menilai sikap yang ditunjukan terdakwa merupakan sesuatu yang memberatkan tuntutan. Namun, JPU justru membacakan tuntutan dengan tuntutan yang meringankan.
"Kalau kita lihat dari historisnya, begitu dia (Ahok) dipersoalkan perkara ini, dia yakin tidak melakukan penodaan terhadap agama atau golongan," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (20/4).
Mudzakir juga menjelaskan kejadian-kejadian sebelumnya saat kasus tersebut ramai diperbincangkan di media televisi. Ahok benar meminta maaf akan tetapi, kata Mudzakir, konten yang dimintai maaf bukan yang didakwakan JPU.
"Meminta maaf kepada masyarakat kepada (satu kelompok masyarakat) yang mengganggu ketentraman masyarakat (Jakarta), bukan kepada perbuatan yang dia (Ahok) perbuat (menistakan)," ujarnya.
Hal tersebut, menurutnya berarti Ahok meyakini bahwa perbuatan yang dituduhkan JPU sebagai perbuatan penghinaan itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersalah.
"Itu artinya, terdakwa tidak mengaku, tidak menyesali dan tidak mengakui perbuatan itu," katanya.
Jika hal tersebut menjadi sikap dari terdakwa, kata Mudzakir, semestinya perbuatan terdakwa akan menjadi faktor yang memberatkan di persidangan, bukan malah meringankan.
Mudzakir juga mengatakan, semestinya terdakwa juga dimonitor dari segi aktivitas. Karena terdakwa tidak ditahan, Mudzakir menilai harus ada monitoring apakah selama proses persidangan dari proses penyidikan dari sampai pada bagian akhir terdakwa melakukan pengulangan tindak pidana serupa atau tidak.
"Tapi kalau kita baca, kita lihat itu ada yang melaporkan bahwa terdakwa itu diduga melakukan tindakan penodaan agama juga, atau dengan kata lain melakukan suatu tindakan penodaan atau unsur yang sama terhadap penodaan kitab sucinya agama islam. ini menurut saya, seharusnya jaksa mempertimbangkan itu juga," jelasnya.