Kamis 20 Apr 2017 16:00 WIB

Video Buni Yani Fakta Hukum Ringankan Ahok

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan dengan isu SARA Buni Yani (tengah) didampingi kuasa hukum bersiap menjalani pemeriksaan pelimpahan tahap kedua di Kejaksaan Negeri Kota Depok, Jawa Barat, Senin (10/4).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan dengan isu SARA Buni Yani (tengah) didampingi kuasa hukum bersiap menjalani pemeriksaan pelimpahan tahap kedua di Kejaksaan Negeri Kota Depok, Jawa Barat, Senin (10/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono mengungkapkan video unggahan Buni Yani jadi salah satu fakta persidangan bagi terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.  Menurut Ali, dari fakta hukum kebanyakan pelapor melaporkan terdakwa karena melihat video versi Buni Yani.

"Itu fakta hukum. Kegaduhan termasuk (video Buni Yani) dari yang bersangkutan (Buni Yani), tidak semata-mata Pak Ahok. Jadi, karena dua-duanya, kira-kira begitu," tegas Ali usai persidangan di Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).

Ali menerangkan beberapa pertimbangan yang memberatkan Ahok adalah lantaran  perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan kesalahpahaman masyakarat antar golongan.

Sementara hal yang meringankan adalah terdakwa mengikuti proses hukum dengan baik, sopan selama berada di persidangan dan ikut andil dalam membangun kota Jakarta. Selain itu, terdakwa juga telah mengaku akan terus berperilaku lebih humanis.

"Timbulnya keresahan masyarakat juga karena adanya unggahan Buni Yani," tambah Ali.

Lebih lanjut ia menjelaskan berdasarkan dari fakta hukum selama persidangan berlangsung, disimpulkan tidak adanya niat terdakwa tersebut melakukan penodaan agama seperti yang didakwakan oleh JPU. Salah satu faktanya dapat disimpulkan  dari rangkaian perbuatan terdakwa seperti pengalaman terdakwa ketika mengikuti pemilihan gubernur Provinsi Bangka Belitung 2007 sampai dengan Pilkada DKI 2017-2022. Menurut JPU tampak bahwa niat terdakwa adalah lebih ditujukan pada orang lain atau elit politik dalam kontes Pilkada.

"Mengingat kesengajaan Pasal 156 a huruf a KUHP adalah dengan maksud untuk memusuhi dan menghina agama, maka pembuktian Pasal 156 a huruf a KUHP tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo," jelas Ali.

Ali menjelaskan, dalam Pasal 156 a KUHP  terdapat unsur dengan sengaja  "Jika kita lihat Pasal 4 huruf a UU No 1/PNPS 1965 sebagai penjelasan pasal 165a huruf a KUHP terdapat frase 'semata-mata yang menunjukkan adanya sikap bagi pelaku yang menghendaki terpenuhinya delik'. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa delik sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP hanya diliputi oleh kesengajaan dengan maksud untuk menghina pada agama, bukan bentuk kesengajaan yang lain," terang Ali.

Sementara dari fakta selama persidangan yang sudah berjalan selama 19 kali  telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua pasal 156 KUHP.

"Sepanjang persidangan terdapat fakta-fakta . Tak terdapat yang meniadakan dalam pertanggungjawaban terdakwa. Oleh karena itu terdakwa wajib pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement