REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti lembaga survei Populi Center Nona Evita mengatakan, exit poll di Pilkada DKI Jakarta tidak dapat menjadi rujukan untuk hasil hitung cepat atau quick count. Hal tersebut terjadi karena banyak pemilih yang tidak jujur saat menjawab survei atau merahasiakan pilihan.
“Exit poll itukan sifatnya indikatif, seperti survei. Nah, kami berkaca pada putaran pertama kemarin, exit poll sama quick count hasilnya beda, exit poll yang menang Anies. Dan pada quick count, ternyata Ahok yang tertinggi,” kata Nona saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (19/4). Exit poll merupakan hasil survei yang dilakukan dengan cara menanyai langsung pemilih usai mencoblos. Sementara, quick count adalah metode penghitungan suara pemilu berdasarkan hasil di tempat pemungutan suara yang dijadikan sampel.
Nona mengatakan, adanya fenomena tersebut ditengarai karena maraknya isu-isu di media sosial atau di masyarakat terkait pilkada. Hal itu seperti isu SARA dan lainnya yang menjadi semacam intimidasi pada pemilih dalam mengeluarkan pilihan secara bebas.
Menurut Nona, tingginya aspirasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih harus diacungi jempol. Namun, yang sangat disayangkan, kata Nona, pelaksanaan teknis di lapangan yang terkesan masih carut marut.
Dari tinjauan Populi Center sekitar 98 persen pemilih disebut akan menggunakan hak pilih. Namun, sangat disayangkan, sekitar 20 persen pemilih masih terhambat pada persoalan data DPT yang belum tertata. “Walau ada solusinya DPT itu, pemahaman atau penguasaan materi pertugas di TPS belum sama rata, Ini juga terjadi pada tim kami yang di lapangan, yang tidak boleh masuk ke TPS, padahal itu sudah kewajiban kami,” kata Nona.
Nona menyatakan, tidak ratanya pengetahuan petugas PPS seharusnya sudah di evaluasi dari sebelumnya. Sehingga bisa meminimalisasi kegaduhan yang terjadi pada pemilih.