Ahad 16 Apr 2017 09:21 WIB

Survei, Puisi, dan Pilkada: Beri Daku Dusta, Emha!!!

Warga yang tergabung dalam kelompok Bangga Jakarta melakukan aksi damai menggunakan topeng pasangan calon Gubernur DKI Jakarta saat menyampaikan Petisi Pilkada Damai di depan Kantor KPU DKI Jakarta,Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Warga yang tergabung dalam kelompok Bangga Jakarta melakukan aksi damai menggunakan topeng pasangan calon Gubernur DKI Jakarta saat menyampaikan Petisi Pilkada Damai di depan Kantor KPU DKI Jakarta,Jakarta Pusat, Kamis (13/10).

Oleh: Indra J Piliang

Ketika membaca sejumlah hasil survei yang muncul berkaitan dengan posisi politik warga Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, saya tiba-tiba ingat puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Beri Daku Sumba”.

Puisi ini memang paling disenangi oleh anak-anak remaja seusia saya, tentu kala aktif dalam kegiatan Pramuka dan pecinta alam pada masa sekolah menengah atas. Puisi itu pun tak luntur kala saya aktif dalam Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Indonesia, Teater Sastra Universitas Indonesia, maupun Madah Bahana Universitas Indonesia.

Kegiatan-kegiatan alam itu –terutama penelitian di daerah-daerah gersang dan jauh, memintal ingatan kepada area-area yang jauh. Padahal, puisi itu ditulis pada 1970, sebelum saya lahir!

“Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari

Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda

Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari

Beri daku ranah tanpa pagar,

luas tak terkata,

namanya Sumba”

Begitu kutipan puisi Taufiq Ismail.

Taufiq menulis puisi itu kala berada di Uzbekistan. Senakal-nakalnya saya terhadap Taufiq –terutama berdebat secara terbuka dengan beliau, kala buku Prahara Budaya dilarung ke arena kampus, tetap saja tak hilang rasa kagum kepada kemampuan dokter hewan ini menulis puisi.

Saya termasuk pengkritisi buku yang ditulis bersama Des Moeljanto itu. Saking bapernya, Om Taufiq 'menuduh' saya pernah bertemu dengannya dalam serangkaian kegiatan seni di sejumlah negara. Padahal, mana pernah saya ke luar negeri kala mahasiswa.

Sahabat saya –intelektual muda kampus yang rajin mengawal pamannya ini– Fadli Zon justru yang sering mewakili Universitas Indonesia keliling dunia. Saya? Kebagian keliling Indonesia saja.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement