REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia masih cukup tinggi. Kurangnya pendidikan karakter siswa ditambah dengan banyaknya deportan dari sejumlah negara yang dianggap bakal ikut aksi terorisme membuat sel-sel kejahatan masih sulit diberantas.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan, aksi terorisme saat ini masih belum hilang dengan sejumlah kejadian penangkapan yang dilukan Densus 88. Mulai dari kejadian di Banten hingga penembakan teroris di Tuban memperlihatkan bahwa aksi terorisme masih akan berlanjut.
"Eksistensinya (terorisme) masih ada. Jadi kita lakukan pengembangan terus," kata Suhardi usai bertemu Presiden Joko Widodo, Senin (10/4).
Suhardi menjelaskan, penanganan masalah terorisme bukan hanya dilakukan para hilir atau ketika terjadi aksi. Perbaikan di hulu seperti pendidikan karakter, pembinaan mantan napi teroris, serta deportan terkait terorisme harus ditingkatkan.
Masyarakat pun harus ikut andil dalam meminimalisir potensi terorisme dan radikalisme. Salah satu cara yang bisa dilakukan yakni dengan mewaspadai informasi yang diterima oleh anak-anak. Saat ini perkembangan informasi semakin mudah diakses. Cukup melalui telepon genggam, anak-anak bisa mendapatkan banyak informasi terbaru, termasuk dengan sisi radikalisme yang banyak disebarkan melalui konten di media sosial.
Dengan memberikan pelajaran karakteristik di tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), diharapkan para penerus bangsa bisa mengerti betul bahwa paham radikalisme itu tidak memberikan manfaat bagi dirinya dan masyarakat luas. Doktin melalui pendidikan karakter yang diberikan sejak dini diharap mampu membentengi mereka dari sisi negatif radikalisme.
Selain itu, Suhardi berharap agar pemerintah daerah (Pemda) bisa memiliki andil untuk menjaga kemungkinan aksi terorisme dan radikalisme. Potensi ini ada karena deportan yang dipulangkan ke Indonesia atau mantan napi teroris lebih banyak memilih untuk tinggal di daerah.
Para deportan misalnya, mereka kebanyakan telah menjual harta benda untuk berangkat ke negara konflik seperti Suriah. Ketika dipulangkan, mereka tidak memiliki harta atau tempat tinggal di daerahnya.
"Nah kalau mereka dijemput Pemda, kita kan bisa tahu mereka akan tinggal di mana. Jadi kalau alamat tinggal mereka tidak jelas, bisa ketahuan kan," ujar Suhardi.