REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya spanduk pasangan Anies-Sandi akan menerapkan aturan syariat jika memenangkan Pilgub DKI, dinilai sebagai bentuk provokasi politik. Tujuannya, menurut pegiat HAM dan pengacara PAHAM Jakarta, Helmi Al Djufri, menimbulkan agitasi atau hasutan kepada masyarakat.
Helmi berpendapat, materi spanduk Jakarta bersyariat Islam tersebut secara tersurat memang tidak ada yang menyimpang. Tetapi jika dikaitkan dengan Pilkada DKI, pencantuman lambang sejumlah partai politik dan ormas Islam membuat spanduk yang diklaim mengatasnamakan paslon nomer urut tiga itu menjadi sangat janggal.
Helmi menuturkan beberapa hal yang perlu ditinjau ulang, antara lain isu yang diangkat adalah "Syari'at Islam/ Qonun Jinayat (Hukum Pidana Islam)". Menurut dia, dalam konteks hukum ketatanegaraan, Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama dengan berbagai dinamikanya yang sangat panjang mengisi sejarah perumusan bentuk dan sumber hukum negara. Terkait hukum pidana hanya bisa dirumuskan dan diberlakukan secara nasional melalui DPR, maka isu penerapan Qonun Jinayat (Hukum Pidana Islam) di Jakarta menjadi hal yang tidak dapat diberlakukan.
“Sekelompok orang yang sedang melakukan agitasi tersebut memiliki pengetahuan hukum, sejarah Indonesia dan agama yang sangat dangkal,” ujar Helmi, Rabu (5/4).
Helmi mengilasbalik sejarah panjang awal kemerdekaan Indonesia. Agitasi menjadi senjata favorit bagi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dengan masif dan terencana melalukan usaha-usaha yang dapat memimbulkan rasa cemas di masyarakat. Tujuan dari penyebaran isu syariat Islam tersebut adalah dalam rangkan menurunkan elektabilitas pasangan calon yang terpasang fotonya pada spanduk tersebut, sehingga akan terbentuk rasa antipati pada diri masyarakat.
Sasaran dari isu (kampanye hitam), menurut Helmi sangat jelas, yaitu masyarakat menengah ke bawah dan kelompok massa yang pada putaran pertama tidak memilih (golput). Sayangnya, sekelompok orang yang sedang melaksanakan kampanye hitam tersebut dengan mengambinghitamkan partai politik dan ormas Islam menjadi blunder politik tersendiri bagi mereka.
“Perkembangan pemahaman masyarakat atas ajaran Islam sudah sangat maju, masyarakat sangat cerdas dalam memandang Syari'at Islam dalam kaca mata politik,” jelas Helmi.
Hal kedua, menurut aktifis PAHAM ini dilihat dari semua spanduk bertema syari'at Islam tersebut tidak ada yang mencantumkan Partai Gerindra. Menurut dia, sekelompok orang tersebut tidak berani menyenggol Gerindra, yang diduga karena adanya rasa segan dan bersalah satu partai di Indonesia terhadap partai yang dipimpin Prabowo Sugianto tersebut.
Tema penerapan syari'at Islam di dalam spanduk itu pun tidak menjadi wacana atau diskurus selama Pilkada DKI Jakarta di putaran pertama. Tetapi tiba-tiba menjelang putaran kedua ini merebak isu syari'at Islam. Sangat jelas, menurut Helmi lawan politik pasangan calon lain sedang mengalami keputusasaan politik. “Strategi politik agitasi dan kampanye hitam pun dikemas berantakan dan tidak efektif,” tutur Helmi.
Melihat trend kenaikan elektabilitas pasangan nomer 3 (Anies-Sandi), Helmi berpendapat telah membuat kalut lawan-lawannya sehingga metode dan strategi politiknya menjadi blunder. Menurut dia, ini terlihat dari besarnya kekalutan dinamika politik di DKI Jakarta.
Keunggulan dan kekuatan Anies-Sandi, menurut Helmi terletak pada program-programnya dan perilaku politiknya yang simpatik, sehingga mendapat dukungan besar dari masyarakat Jakarta. Bukan terletak pada propaganda politik yang negatif, hal itu terbukti pada program-programnya yang tidak mengampanyekan isu Syari'at Islam sebagaimana yang tercantum di dalam spanduk-spanduk agitatif dan kampanye hitam.
“Kesimpulan dari analisis ini adalah, bahwa lawan-lawan politik yang sudah secara tegas mengakui selangkah lagi kemenangan pasangan Anies-Sandi, sedang mengalami putus asa, sehingga berani melakukan agitasi dan kampanye hitam secara sporadis,” tutup Helmi.