REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris menilai, Pilkada DKI Jakarta putaran kedua benar-benar menjadi ujian bagi marwah demokrasi dan kedewasaan berpolitik warga Jakarta. Sebab, di ibu kota yang harusnya menjadi contoh baik pilkada bagi daerah-daerah lain di Indonesia ini, berbagai praktik-praktik yang menodai demokrasi bersemai dengan begitu suburnya.
"Mulai dari indikasi politik uang, intimidasi, aksi premanisme, dan yang paling memperihatinkan begitu marajalelanya kampanye hitam berisi fitnah yang kesemuanya itu merupakan pidana pemilu," kata Fahira dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (5/4).
Fahira mengungkapkan, gerakan kampanye hitam yang menghantam Anies-Sandi sangat terstruktur, sistematis, masif dengan disokong pendanaan yang besar. Bahkan, bagi Fahira, pilkada DKI 2017 putaran kedua ini menjadi yang paling brutal dalam sejarah hidupnya.
"Sepanjang saya ikut Pemilu atau Pilkada, Pilkada DKI putaran kedua ini paling brutal. Jika polisi tidak mampu mengungkap otak dibalik semua kampanye hitam ini, demokrasi kita sudah lampu merah," tegasnya.
Fahira melanjutkan, ditemukannya dua kontainer berisi jutaan brosur kampanye hitam yang memfitnah Anies-Sandi di sebuah rumah di Jakarta Barat merupakan bukti, gerakan ini didanai dan terorganisir dengan baik. Sehingga, seharusnya bukan menjadi hal yang sulit bagi polisi untuk segera mengungkapnya.
"Belum lagi kalau kita bicara soal pemasangan spanduk-spanduk fitnah terhadap Anies-Sandi di ratusan titik di seluruh wilayah Jakarta yang harusnya bisa dilacak lewat CCTV serta puluhan fitnah lainnnya yang menghantam pasangan ini terutama di media sosial," jelasnya.