REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Farouk Muhammad menyesalkan terjadinya proses pemilihan ketua DPD RI pada Paripurna kesembilan ini. Farouk menegaskan, pemilihan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Hal ini memprihatinkan karena menyangkut lembaga yang saya pimpin. Lebih-lebih lagi proses dilakukan secara brutal sehingga terjadi kegaduhan dalam Sidang Paripurna dan dinilai publik sebagai perbuatan yang memalukan," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/4).
Senator asal asal Nusa Tenggara Barat (NTB), itu menegaskan, dirinya tetap mengemban amanah jabatan sebagai Wakil Ketua DPD RI yang didasarkan atas Keputusan DPD Nomor 02/DPD RI/I/2014-2015 untuk masa jabatan 2014-2019. Masa jabatan tersebut dikuatkan oleh Putusan MA Nomor 38P/HUM/2016 dan Nomor 20P/HUM/2017.
Lanjut Farouk, putusan MA itu membatalkan dua Tata Tertib DPD (Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017) yang salah satunya mengubah masa jabatan Pimpinan DPD dari 5 tahun ke 2,5 tahun dan dinyatakan bertentangan dengan UU MD3 dan UU P3 sehingga dipandang tidak sah dan mengikat.
"Kecuali Jika MA mengingkari amar putusannya sendiri dengan tetap mengambil sumpah pimpinan yang baru terpilih yang sekaligus mencerminkan runtuhnya benteng terakhir penegakan hukum di Republik tercinta," katanya.
Sebelumnya, Wakil ketua DPD RI lainnya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas juga menegaskan terpilihnya Oesman Sapta Odang (Oso) sebagai Ketua DPD tidak sah. Hemas beralasan, itu karena melanggar putusan MA.
Kemudian dia juga yakin MA tidak akan melantik Oso sebagai Ketua DPD RI yang baru. Hemas juga menyayangkan DPD RI saat ini tidak tunduk pada konstitusi dan Undang-undang.