REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai nota kesepahaman yang dilakukan tiga lembaga penegak hukum yakni KPK, Polri dan Kejaksaan Agung sebagai bentuk ketidakpahaman peran masing-masing lembaga. Hal ini berkaitan dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan oknum di lembaga tersebut.
"Ya sebetulnya itu karena tidak paham peran masing-masing, gitu," kata Fahri di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (29/3).
Menurutnya, terutama untuk KPK yang dinilainya kewalahan dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan oknum dari dua lembaga tersebut. Padahal, kata Fahri, KPK telah memiliki kewenangan yang kuat dengan adanya Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Sehingga dengan adanya UU tersebut KPK mestinya berani mengambil inisiatif dalam penanganan pemberantasan korupsi.
"Khususnya dalam membangun sistem yang baik. Jadi UU itu sudah perkuat KPK. Kalau di UU, kekuatan KPK dalam pemberantasan korupsi itu bisa lebih kuat daripada presiden, baca saja UU itu. Jadi istilah MoU itu apalagi, untuk mengamankan aparat, iya kan?" katanya.
Diketahui, Rabu pagi tadi pimpinan KPK, Polri dan Kejaksaan Agung melakukan nota kesepahaman terkait penanganan kasus hukum di Mabes Polri Jakarta. Nota kesepahaman itu antara lain mengatur jika dalam pemanggilan, pemeriksaan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum harus memberitahukan kepada pimpinan aparat hukum tersebut. Selain itu, berkenaan juga tindakan penggeledahan maupun penyitaan, harus juga diberitahukan kepada pimpinan pihak yang menjadi objek dilakukan tindakan atau 'permisi', kecuali dalam hal operasi tangkap tangan.