Rabu 29 Mar 2017 13:49 WIB

Pengembang Ungkap Penyebab Pendangkalan di Pulau Reklamasi Jakarta

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Nur Aini
  Suasana Pulau G hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Jumat (23/9).
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Suasana Pulau G hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Jumat (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Proyek reklamasi sejumlah pulau di kawasan Teluk Jakarta hingga kini terhenti. Aktivitas di Pulau C, D, dan G nyaris tak bersisa. Kondisi sejumlah pulau hasil reklamasi ini pun seperti tak beraturan. Terkait dengan situasi ini, Andreas Leodra, Project Director PT Muara Wisesa Samudra (MWS) selaku pengembang Pulau G ikut buka suara.

Menurut Andreas, sejak pemerintah melakukan moratorium proyek reklamasi Mei 2016, kegiatan di Pulau G berhenti total. “Kondisi Pulau G terlihat tidak beraturan karena proses reklamasinya belum selesai. Ini baru awal, tiba-tiba kami harus berhenti. Wajar jika belum terlihat seperti di gambar rencana Pulau G, karena tahapan proses pekerjaannya masih belum terlaksana sempurna,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (29/3).

Andreas mengatakan, di area Pulau G terlihat seperti terjadi pendangkalan. Padahal, pendangkalan itu adalah bagian dari proses reklamasi yang dilakukan secara berlapis. Pendangkalan ini juga berada di dalam area konsesi Pulau G seluas 161 hektare. “Ini (pendangkalan) adalah bagian dari proyek reklamasi yang belum selesai kami lakukan,” kata dia.

Pendangkalan di Teluk Jakarta, kata Andreas, sejatinya telah berlangsung bertahun–tahun dan jauh sebelum proyek reklamasi dimulai akibat banyaknya lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di area Teluk Jakarta.  “Mesti dibedakan, pendangkalan di area konsesi Pulau G itu memang merupakan bagian dari proses pengurukan dasar laut di area perencanaan (konsesi) untuk membangun pulau buatan, sementara pendangkalan di Teluk Jakarta terjadi akibat sedimentasi lumpur dan sampah yang dibawa oleh sungai-sungai ke laut. Bisa dicek kok,” kata Andreas.

Andreas menambahkan, dalam membangun Pulau G, MWS menggunakan teknik lapis per lapis. Ini dilakukan lantaran kondisi dasar Teluk Jakarta merupakan lumpur lunak. Itu sebabnya, dalam membangun Pulau G, MWS tidak menggunakan teknik semprot pasir secara langsung.

Sehingga terbentuk pulau seperti dilakukan di Dubai, Uni Emirat Arab di mana lapisan dasar lautnya berupa pasir yang keras. Jika teknik itu yang dilakukan justru akan menciptakan kekeruhan laut dan mencemari lingkungan, karena dasarnya lumpur dan dalam jangka panjang akan menyulitkan proses pekerjaan pemadatan lahan reklamasi itu sendiri akibat bercampurnya lumpur dengan material reklamasi. “Dalam melakukan reklamasi kami gunakan metode lapisan per lapisan. Walaupun memerlukan peralatan tambahan dan biayanya mahal, teknik ini akan memberikan kekuatan dan stabilitas yang sangat baik terhadap pulau hasil reklamasi dan meski dasarnya lumpur, kegiatan reklamasi Pulau G praktis tidak menimbulkan kekeruhan yang dapat mengganggu lingkungan,” katanya.

Menurut Andreas, desain pembangunan Pulau G melibatkan konsultan Royal Haskoning DHV, yang telah berpengalaman lebih dari 135 tahun melakukan reklamasi di berbagai negara di dunia. “Proyek reklamasi ini kami lakukan sesuai ketentuan dan arahan dari pemerintah. Kami juga dalam proses penyempurnaan Amdal yang telah kami peroleh sebelumnya,” tutur Andreas.

Dia mengklaim adanya reklamasi, kondisi lingkungan juga akan menjadi lebih baik. Habitat ikan pun akan berkembang bagus lantaran pasir urugnya lebih baik dari lumpur yang ada. Ini terbukti dari banyaknya burung-burung yang berada di pulau reklamasi karena ikan banyak di area tersebut. “Hal seperti ini tidak terlihat sebelumnya karena ikan sulit ditemukan di Teluk Jakarta ini,” kata Andreas.

Sebelumnya, usai kunjungan ke Pulau C, D dan G, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang mengatakan bahwa desain Pulau G tidak jelas. Tanah ditimpa-timpa begitu saja sehingga menimbulkan terjadi sedimentasi. "Ada pendangkalan, ini kan bahaya, bagaimana orang mau lewat, ikan nggak ada lagi di sini, habitatnya jadi rusak," kata Afri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement