Jumat 24 Mar 2017 18:40 WIB

Antropolog: Masyarakat Belum Siap Hadapi Medsos

Sosial Media
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sosial Media

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro Agus Maladi Irianto menilai masyarakat Indonesia selama ini belum siap menghadapi dampak kehadiran media sosial.

"Sekarang ini terjadi perubahan peradaban karena perkembangan media. Kebudayaan tidak bisa lagi dilihat dari sebatas hal-hal eksotis, homogen, dan memiliki pola yang jelas," katanya di Semarang, Jumat (24/3).

Mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip yang akan dikukuhkan sebagai guru besar pada Sabtu (25/3) itu mengatakan kebudayaan sekarang gambarannya serba tidak menentu yang menuntut perkembangan ilmu antropologi. Ia mencontohkan dalam sekejap orang-orang bisa saling berhubungan dengan mereka yang sebelumnya tidak mereka kenal, bisa juga bermusuhan dengan mereka yang tidak dikenal sebelumnya atau bisa bekerja sama.

"Ya, terjadi perubahan. Televisi, misalnya, bagaimana memiliki pengaruh yang sedemikian luar biasa. Forum yang hanya dihadiri sedikit orang ternyata bisa mempengaruhi ribuan atau jutaan orang," katanya.

Sebaliknya, kata dia, bisa jadi forum yang dihadiri ribuan orang sekalipun ternyata tidak menimbulkan pengaruh bagi banyak orang karena tidak perkembangan di dunia media, terutama media sosial. "Orang bisa jadi pembenci atau malah cinta setengah mati dengan orang yang belum pernah ditemui dan dikenalnya karena media sosial," kata mantan Ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) itu.

Namun, Agus mengatakan masyarakat ternyata belum siap menghadapi perkembangan media sosial, terutama dampak-dampak yang ditimbulkannya sehingga akhirnya muncul berbagai efek negatif, termasuk berita hoax. Negara, menurut dia, harus segera turun tangan untuk mendidik rakyatnya dengan literasi media sosial dan jangan justru terkesan membiarkan karena masyarakat yang menjadi objek dari dampak yang ditimbulkan.

"Kalau dibendung jelas tidak bisa. Ada tiga hal yang tidak bisa dibendung, yakni konsumsi budaya, teknologi informasi, dan permainan media massa. Satu-satunya cara, menciptakan media literasi," katanya.

Kehadiran negara, kata dia, tidak kemudian dengan menghidupkan kembali Departemen Penerangan, tetapi setidaknya mengoptimalkan lembaga yang ada, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sebagainya. "Yang jelas, negara harus mendidik masyarakat untuk menyikapi perkembangan teknologi informasi yang terus terjadi, termasuk media sosial. Masyarakat butuh literasi, negara harus turun tangan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement