Jumat 24 Mar 2017 06:23 WIB

Manajemen Pengungsian Korban Bencana Perlu Perbaikan

Rep: Kabul Astuti/ Red: Yudha Manggala P Putra
  Sejumlah pengungsi beristirahat di posko pengungsian. Ilustrasi
Sejumlah pengungsi beristirahat di posko pengungsian. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Sosial menegaskan perlunya perbaikan manajemen pengungsian, yang saat ini diakui masih jauh di bawah standar. Kondisi barak pengungsian di lokasi-lokasi bencana belum layak dari sisi rasio jumlah penghuni, serta rawan terjadi kekerasan terhadap anak.

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, korban bencana di pengungsian semestinya bukan hanya aman dari bencana, tapi harus dipenuhi berbagai kebutuhan dasarnya dalam lingkungan yang bermartabat.

Untuk kebutuhan dasar korban bencana, menurut Harry, relatif sudah terpenuhi dengan adanya cadangan beras pemerintah dan bantuan sandang pangan dari donatur. Namun, dari sisi kelayakan tempat pengungsian masih terkendala.

"Dari sisi kelayakan itu yang sekarang sedang kami coba benahi. Ada penampungan yang terlalu padat, dan rasionya berlebihan. Satu orang harusnya berbanding 2,5 - 2 meter paling tidak," kata Harry Hikmat kepada Republika.co.id, dalam pelatihan jurnalis siaga bencana di Kepulauan Seribu.

Idealnya, lanjut Harry, tempat pengungsian seluas 100 meter persegi maksimal hanya diisi 50 orang. Kondisi saat ini 100 meter persegi bisa diisi sampai 100 orang, bahkan 200 orang. Tenda sangat padat dan berdesak-desakan. Ditambah lagi, kadang-kadang berbagai fasilitas penunjang, tempat pembuangan sampah, dan pasokan air bersih kurang.

Jika mengikuti standar internasional yang ditetapkan PBB, ucap Harry, ruang penampungan minimal 3,5 meter persegi per orang. Status gizi anak, jumlah air, kualitas air, makanan minimal 2100 kalori/orang/hari juga menjadi bahan pertimbangan. Indonesia masih belum mampu mencapai standar tersebut.

Kondisi barak pengungsian yang terlampau padat menimbulkan kerentanan bagi perempuan dan anak-anak. Harry mengungkapkan, berdasarkan studi kasus erupsi Merapi 2011 di Yogyakarta, UNICEF pernah melaporkan bahwa 35 persen anak dalam pengungsian pernah mendapatkan kekerasan dari orang terdekat. Sementara itu, 27 persen anak pernah mengalami pelecehan seksual. Harry menegaskan, kondisi itu perlu diwaspadai karena tidak mustahil terjadi di tempat lain.

Harry menjelaskan, dilema di lapangan memang tidak sedikit. Gedung dan tenda yang aman terbatas, sementara belum terbentuk kepengurusan dan manajemen pengelolaan yang baik di lokasi pengungsian. Warga juga tidak memungkinkan kembali ke rumah karena sudah hancur atau rusak terkena bencana.

"Mereka di emergency shelter jadi terlalu lama. Padahal emergency shelter itu harusnya rata-rata antara 3 - 10 hari. Kalau sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kayak Sinabung kan berarti banyak masalah yang belum diselesaikan," kata Harry.

Harry mengatakan, Kementerian Sosial berusaha memperbaiki manajemen lokasi pengungsian dengan membuat SOP dan menyosialisasikan standar-standar baru. Salah satunya, perbaikan rasio tenda penampungan, ketersediaan tempat sampah, pasokan air bersih, serta kebutuhan spesifik lain yang dibutuhkan korban bencana.

"Tenda diusahakan bukan tenda umum peleton saja, tapi dibuat lebih nyaman. Ventilasi yang cukup. Tambah sistem kamar agar lebih nyaman, ada privasi, dan lebih bermartabat," kata Harry. Khusus bagi pasangan suami istri, juga disediakan tenda khusus sebagai bagian dari dukungan psikososial.

Harry juga menyebut soal perbedaan kebutuhan dalam penanganan tanggap darurat masing-masing bencana. Korban gempa sangat membutuhkan tenda darurat karena mereka takut kembali ke rumah, sebaliknya korban banjir lebih membutuhkan peralatan kebersihan ketimbang tenda darurat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement