Jumat 24 Mar 2017 04:13 WIB

Indonesia Dinilai Butuh Tabayun Digital untuk Lawan Hoax

Rep: Fuji E Permana/ Red: Yudha Manggala P Putra
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Drone Emprit dan Pengamat Media Sosial, Ismail Fahmi menyarankan, setelah ada fikih informasi maka ujungnya harus ada tabayun digital. Jadi, tabayun digital adalah suatu tempat untuk masyarakat Indonesia melakukan tabayun terhadap informasi dan isu yang berkembang.

"Di situ (masyarakat bisa) bertanya, mengecek, berkontribusi apakah sesuatu itu (informasi) hoax atau tidak, benar atau tidak, fitnah atau tidak," kata Ismail di sela-sela Expert Meeting Fikih Informasi di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yang diselenggarakan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Kamis (23/3).

Ia menerangkan, bentuk tabayun digital berupa portal, di mana masyarakat bisa bertanya mengenai kebenaran suatu informasi melalui portal tersebut. Tapi, portal tabayun digital harus dipercaya oleh seluruh masyarakat.

Sebab, dikatakan dia, kalau portal ini tidak dipercaya masyarakat karena alasan apapun, maka mereka tidak akan menggunakan portal tabayun digital.

Menurutnya, portal tabayun juga bisa meredam buzzer-buzzer yang menyebar hoax. Masyarakat bisa bertanya melalui portal tabayun digital tentang isu dan informasi yang disebarkan buzzer. Nanti, masyarakat bisa melihat kebenaran tentang isu dan informasi tersebut dari portal tabayun digital.

"Buzzer bekerja ada target, menggunakan segala cara, ini tentunya akan menjadi tantangan buat mereka karena ada portal tabayun," ujarnya.

Ia menjelaskan, sekarang yang sudah berjalan adalah situs turn back hoax. Di sana masyarakat bisa melaporkan sebuah gambar dan informasi untuk mengetahui kebenarannya. Tapi, masyarakat berpikir jika mereka melaporkan informasi ke situs turn back hoax, siapa yang akan memverifikasi informasinya. "Masyarakat tidak percaya pada situs tersebut," ujarnya.

Disarankan Ismail, harus ada redaksi yang mengelola portal tabayun digital. Mereka yang mengelola portal tabayun digital akan melihat isu yang paling penting. Kemudian, mereka kawal isu tersebut, sehingga masyarakat ketika ada sebuah isu bisa mengetahui kebenarannya melalui portal digital tabayun.

Contoh kasus seperti kasus Nenek Hindun, adanya informasi yang berkembang membuat masyarakat saling curiga dan saling menyalahkan. Kasus tersebut, ditegaskan dia, sudah cukup membuat polarisasi dan kebencian. Sebab, masyarakat tidak tahu harus percaya kepada sumber yang mana. "Redaksi tabayun digital harus memprioritaskan isu-isu semacam ini," jelasnya.

Ia menambahkan, portal digital tabayun sebaiknya dikelola bersama-sama. Di dalamnya harus ada wartawan dan akademisi. Bisa juga portal tabayun digital dikelola oleh PWI atau Muhammadiyah bekerjasama dengan PWI dan ormas-ormas lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement