Senin 20 Mar 2017 06:07 WIB

Inkonstitusionalitas Proyek Reklamasi Teluk Jakarta

Red: M.Iqbal
Majelis hakim membacakan putusan gugatan nelayan, Walhi, dan KNTI terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait proyek reklamasi Pulau F, I, K di ruang Kartika, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (16/3).
Foto: Republika/Muhyiddin
Majelis hakim membacakan putusan gugatan nelayan, Walhi, dan KNTI terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait proyek reklamasi Pulau F, I, K di ruang Kartika, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (16/3).

Oleh: Parid Ridwanuddin *) 

Pada Kamis (16/3), Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan Teluk Jakarta dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengenai pembatalan izin pelaksanaan reklamasi Pulau F, I, dan K. Seperti diketahui, sebagaimana yang tertera dalam tiga surat keputusan gubernur DKI Jakarta, yaitu:

1. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo tertanggal 22 Oktober 2015

2. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci tertanggal 22 Oktober 2015

3. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk tertanggal 17 November 2015.

Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan nelayan dan KSTJ atas reklamasi Pulau F, I dan K berdasarkan sejumlah pertimbangan berikut:

1. Izin reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh tergugat. Keberadaan izin baru diketahui para penggugat sejak 10 Desember 2015. Padahal, surat keputusan ditandatangani sejak Oktober dan November 2015.

2. Reklamasi akan menimbulkan kerugian yang lebih besar terhadap ekosistem Teluk Jakarta, yaitu rusaknya pola arus laut dan jaringan sosial ekonomi dari nelayan tradisional yang ada di pesisir Jakarta.

3. Gubernur tidak mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait erat antara lain UU Pesisir hingga UU Kelautan.

4. Gubernur tidak mendasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP3K) yang menjadi pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir.

5. Tidak melakukan proses konsultasi publik dengan benar dalam penyusunan Amdal dengan tidak ada keikutsertaan perwakilan masyarakat dalam penyusunan Amdal. Gubernur melanggar Pasal 30 UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup yang mengatur partisipasi dalam kebijakan lingkungan.

6. Izin lingkungan cacat prosedur karena diterbitkan diam-diam dan tidak ada pengumuman kepada masyarakat.

7. Cacat substansi, cacat prosedur, serta melanggar asas ketelitian dan asas umum pemerintahan yang baik.

8. Reklamasi tidak ditujukan untuk kepentingan umum, sehingga tidak dapat dilanjutkan sampai keputusan. berkekuatan hukum tetap.

9. Harus diterapkan prinsip kehati-hatian pada objek TUN di mana terjadi ketidakpastian ilmiah maka haruslah berpihak kepada perlindungan lingkungan hidup (in dubio pro natura).

Kabar bahagia

Putusan PTUN merupakan kabar bahagia bagi 25 ribu KK nelayan yang hidup di Teluk Jakarta, khususnya, dan nelayan di seluruh Indonesia, umumnya. Betapa tidak, proyek reklamasi Teluk Jakarta terbukti telah merusak kehidupan masyarakat nelayan di Teluk Jakarta. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat penurunan taraf kehidupan nelayan. 

Sebelum adanya proyek reklamasi, tangkapan ikan yang dihasilkan nelayan mencapai 25 kg hingga 300 kg. Kondisi ini berubah drastis menjadi di bawah 5 kg setelah adanya proyek reklamasi. Hal ini berdampak terhadap penghasilan nelayan. Sebelum reklamasi, nelayan bisa mendapatkan uang sekitar Rp 5 juta per hari. Setelah reklamasi, nelayan hanya dapat mengumpulkan uang tak lebih dari 300 ribu rupiah. Karena penurunan kualitas hidup ini, Kiara menemukan setiap harinya terdapat dua orang nelayan di Teluk Jakarta beralih profesi menjadi kuli-kuli pemungut sampah di wilayah perkotaan. 

Selain menghancurkan kehidupan nelayan, proyek reklamasi juga menghancurkan lingkungan. Teluk Jakarta yang dikenal sebagai rumah bagi sejumlah spesies ikan dan kerang. Kini beberapa spesies itu hilang entah kemana karena rumahnya hancur. Tak hanya menyebabkan kerusakan di wilayah Teluk Jakarta, proyek ini juga menghancurkan wilayah lain seperti Pulau Tunda di Perairan Banten. Pulau ini hancur setelah ribuah ton pasirnya diambil oleh kapal pengeruk pasir Belanda untuk dibawa ke pulau reklamasi. 

Melawan konstitusi 

Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta seharusnya dihentikan secara permanen karena terbukti merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat di Teluk Jakarta. Selain itu, proyek ini harus dihentikan karena jelas-jelas melanggar hukum. Kiara mencatat sejumlah peraturan perundangan yang dilanggar oleh proyek ini, sebagai berikut: 

Pertama, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Proyek reklamasi terbukti merampas kehidupan mereka sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.

Kedua, UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh nagara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui proyek ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terbukti mengkuasakan wilayah pesisir Jakarta untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi oleh swasta. 

Ketiga, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 1 ayat 1-5 yang menyatakan: "1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia; 2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional; 3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi; 4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air; 5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.”

Proyek reklamasi terbukti memisahkan hubungan abadi masyarakat pesisir Indonesia dengan wilayah perairan atau laut yang telah merupakan rumah mereka.

Keempat, UU Nomor 26 Tahun 26 tentang Penataan Ruang pasal 7 ayat 1 yang menyatakan: “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Proyek reklamasi terbukti sebaliknya, tata ruang diselenggarakan untuk kepentingan sekelompok orang kaya. 

Kelima, UU Nomor 27 Tahun 2007 dan revisinya, yakni UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pasal 7 yang mengamanatkan harus ada Rencana Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terlebih dahulu. Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, hal ini tidak dilakukan. 

Keenam, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/VPUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menegaskan pelarangan praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyek reklamasi justru melanggengkan praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan sekelompok orang. 

Ketujuh, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan Dan Petambak Garam pasal 3 yang mengamanatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk: “a) menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; b) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; c) meningkatkan kemampuan, kapasitas, dan kelembagaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam serta penguatan kelembagaan dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan serta mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; d) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; e) melindungi dari risiko bencana alam dan perubahan iklim; dan f) memberikan perlindungan hukum dan keamanan di laut.” Proyek reklamasi Teluk Jakarta terbukti melanggar semua yang diamanatkan dalam UU ini. 

Hentikan secara permanen

Uraian peraturan perundangan di atas menegaskan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta terbukti melawan konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia. Sudah seharusnya proyek yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat ini dihentikan secara permanen tanpa konpromi dengan pihak pengembang yang memiliki kepentingan untuk menguasai wilayah pesisir Jakarta.

Majelis hakim PTUN telah membacakan putusan pembatalan izin pelaksanaan reklamasi Pulau F, I, dan K, setelah sebelumnya membatalkan izin reklamasu Pulau G. Ini merupakan isyarat untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa proyek reklamasi ditolak masyarakat karena mereka tidak membutuhkannya. 

Dengan adanya putusan ini, seluruh pihak, harus menaati dan menjalankannya. Tak boleh ada yang merasa berkuasa dan melabrak putusan ini. Jika ada yang melawan putusan ini, maka ia bertindak melawan hukum. 

 

*) Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement