REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, ucapan 'lupa' di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bermakna menghindar. "Dalam suatu proses hukum atau persidangan tindak pidana korupsi, acapkali kita dengar jawaban 'lupa' dari para tersangka, terdakwa dan saksi yang berpeluang tersangka, bisa jadi sebagai teknik menghindar dan mengaburkan suatu peristiwa tindak pidana korupsi," ujar Emrus Sihombing di Jakarta, Sabtu (18/3).
Oleh karena itu, paling tidak ada dua makna bila terdakwa korupsi dan saksi yang berpotensi kuat menjadi tersangka korupsi cenderung mengucapkan kata 'lupa' dalam suatu proses hukum. Pertama, bila pemeriksaan terkait menguntungkan dirinya atau jaringannya dalam dugaan tindak pidana korupsi, mereka lancar dan bersemangat memberi pendapat.
"Sangat-sangat jarang mengeluarkan kata 'lupa'. Kedua, bila kemungkinan pemeriksaan terkait merugikan dirinya atau jaringannya akan cenderung lebih sering mengucapkan kata 'lupa'," kata dia.
Dari dua makna di atas, ia mengatakan, penggunaan kata 'lupa' sangat berpotensi sebagai upaya mengelabui, atau bagian dari strategi berbohong terselubung. Dari aspek komunikasi, bila seseorang telah berbohong tentang sesuatu akan cenderung melakukan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
"Demikian seterusnya. Kecuali muncul kesadaran baru, berupa ketulusan. Karena itu, ucapan kata 'lupa' harus dicari makna yang sesungguhnya dengan analisis mendalam dengan pendekatan semiotika komunikasi," kata dia.
Selain itu, untuk menghentikan kebohongan dalam suatu proses hukum, tidak ada jalan lain bagi penegak hukum, kecuali harus 'membenturkan' pendapat mereka dengan fakta yang sangat valid dan kredibel.