Rabu 15 Mar 2017 00:00 WIB

Bertemu DPR, BPJS Kesehatan Usulkan Sin Tax

Petugas pemeriksa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (kanan) mewawancarai pekerja tenaga kesehatan saat monitoring kepatuhan pemberi kerja di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (14/3).
Foto: Antara/Rahmad
Petugas pemeriksa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (kanan) mewawancarai pekerja tenaga kesehatan saat monitoring kepatuhan pemberi kerja di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bertemu dengan Ketua DPR RI Setya Novanto, Selasa (14/3), Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyampaikan, akan terjadi defisit (mismatch) pada anggaran tahun 2017. Itu diprediksi melihat hal serupa terjadi pada 2016 dengan besaran difisit sekitar Rp 6 triliun.

Menurut Fachmi, berdasarkan hitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional, iuran jaminan kesehatan untuk rakyat miskin atau penerima bantuan iuran (PBI) seharusnya sekitar Rp 36 ribu per orang. Sementara yang ditanggung negara baru Rp 23 ribu ribu rupiah per orang. Dengan begitu, ada kekurangan sekitar Rp 13 ribu rupiah per orang per bulan. 

Demikian pula untuk peserta mandiri, mulai kelas I, II, dan III. Hanya kelas I saja yang sesuai hitungan akademis/aktuaria. Untuk kelas II dan III masih jauh dari angka iuran ideal. Inilah sumber utama masalah mismatch atau defisit yang terjadi. 

Untuk menutup mismatch, lanjut dia, bisa mengacu kepada pengalaman di negara lain. Apalagi untuk menaikkan iuran peserta mandiri dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat. Alternatif pemanfaatan adalah mengalokasikan secara khusus hasil cukai rokok. 

Di beberapa negara, seperti Thailand dan Filipina, anggaran untuk jaminan sosial kesehatan diambil dari dana cukai rokok. Karena rokok dapat membahayakan bagi kesehatan, sehingga cukai yang diperoleh dari masyarakat dikembalikan untuk kesehatan rakyat. Cukai rokok ini dikenal sebagai sin tax atau pajak dosa. 

Di Thailand, ujar Fachmi, pemanfaatan sin tax hampir 100 persen untuk biaya pembangunan kesehatan. Di Filipina mencapai hampir 85 persen. Di Indonesia, walau sudah mulai ada, namun tidak secara khusus dianggap sebagai sin tax.

"Sin tax ini dianalogikan sama persis dengan dana reboisasi hutan. Artinya ada biaya yang dialokasikan khusus untuk menanam hutan akibat pembabatan hutan. Demikian juga prinsip cukai rokok, harusnya menjadi biaya yang dialokasikan khusus untuk program kesehatan akibat dampak kesehatan karena rokok," kata dia.

Mengenai defisit yang dialami BPJS Kesehatan, Novanto menyatakan akan meminta Komisi IX untuk berbicara dengan Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan. Jika diperlukan pimpinan DPR akan pro-aktif memfasilitasi perbincangan dengan dua menteri tersebut. 

Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Novanto meminta BPJS Kesehatan terus memperbaiki manajemen, menambah tenaga verifikatornya, serta proaktif menarik peserta baru dari kelompok mandiri. "Jika diperlukan dapat bekerja sama dengan pihak swasta, misalnya, dengan pihak supermaket dan swalayan dalam menggaet peserta," kata dia dalam keterangan, Selasa.

Novanto pun menyatakan dukungannya apabila cukai rokok dialokasikan khusus menjadi sumber dana bagi pembayaran iuran peserta miskin agar sesuai hitungan akturia. Apabila hasil cukai rokok dapat dialokasikan maka hal ini tidak menggangu dana sektor kesehatan yang sudah dipatok sebesar lima persen dari APBN sesuai undang-undang. "Malahan akan menambah dana sektor kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat," ungkap dia. 

Dalam kesempatan tersebut, Novanto juga menyampaikan adanya pengaduan kepada DPR terkait lambannya pelayan rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan. Kemudian juga mengenai beredarnya kartu palsu serta penanganan peserta KIS di daerah yang tidak memiliki fasilitas kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement