REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan protes terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang membawahi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, melarang siaran langsung dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektornik (KTP-El) yang akan digelar hari ini.
''Tidak ada urgensi untuk melarang siaran langsung dalam persidangan kasus ini. Sebaiknya media diberi akses siaran langsung secara terbatas, seperti dalam persidangan kasus Ahok,'' kata Ketua Umum AJI Suwarjono, di Jakarta, Kamis (9/3).
Keputusan melarang siaran live dalam sidang kasus KTP-El itu disampaikan oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yohanes Priyana, Rabu 8 Maret 2017. Menurut Yohanes, keputusan ini diambil setelah berkaca dari persidangan kasus lain sebelumnya yang disiarkan secara langsung.
Alasan lainnya, pengertian sidang terbuka untuk umum adalah sidangnya bisa dihadiri publik secara langsung, tapi tak berarti sidangnya yang hadir ke depan publik melalui siaran langsung. AJI menghormati keputusan hakim sesuai kewenangan untuk memutuskan apakah persidangan boleh diliput secara langsung atau tidak. Namun bila keseluruhan persidangan dilarang untuk liputan secara langsung patut dipertanyakan.
Menurut Suwarjono, persidangan kasus e-KTP ini menjadi perhatian besar publik karena berdampak pada kebutuhan orang banyak dan menyangkut dana negara yang sangat besar. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, dugaan korupsi dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun ini sekitar Rp 2,3 triliun.
Selain itu, ada nama-nama tokoh penting yang diduga terlibat dalam kejahatan korupsi ini. ''Sangat beralasan jika publik ingin mengetahuinya secara langsung tanpa harus datang ke pengadilan,'' kata Suwarjono.
Bagi AJI, ada perbedaan penting antara sidang kasus KTP -El ini dengan sidang kasus penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurut Suwarjono, ada faktor sensitifitas masalah yang jadi pertimbangan sehingga kebijakan untuk membolehkan siaran live tak bisa diterapkan.
Dalam kasus penodaan agama, ada ancaman nyata terhadap keberagaman dan ketertiban sosial jika sidang kasus itu disiarkan secara langsung. ''Sensitifitas masalah seperti itu tak kami temukan dalam kasus e-KTP ini,'' tambah Suwarjono.