Kamis 09 Mar 2017 07:10 WIB

Proses Hukum Masih Mengabaikan Hak Perempuan Korban Kekerasan

Rep: Lintar Satria/ Red: Bayu Hermawan
KDRT (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
KDRT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial.

Sebagai lembaga yang memiliki visi untuk  menciptakan situasi masyarakat yang inklusif, setara, adil, dan berkelanjutan, LBH APIK Jakarta menyikapi penegakan dan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan kali ini.

"Sepanjang tahun 2016 terdapat pengaduan dari 854 perempuan korban kekerasan. Dari data tersebut hamipr semua korban berupaya secara mandiri membiayai dan mendorong proses Hukum. Untuk itu dalam IWD kali ini  kami mensoroti  bagaimana sulitnya perempuan korban kekerasan mencari keadilan," kata Direktur LBH APIK Jakarta, Veni O. Siregar, dalam siaran persnya, Rabu (8/3).

Veni mengatakan korban harus harus membayar visum et repertum, visum et psikiatrikum (VER), dan kesehatan baik fisik atau psikologis. Belum lagi perempuan harus Berupaya Mencari saksi atas kasusnya, saksi ahli hingga rumah aman. Baiya Visum yang catat harganya cukup mahal dari mulai Rp.150.000, sampai Rp1.500.000, untuk kasus Kkeerasan seksual.

"Kondisi ini tidak sebanding dengan impunitas  bagi pelaku," ucapnya.

Veni mengatakan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual yang dialami perempuan dewasa, hampir semua pelaku tidak di tahan. Kondisi ini membuat perempuan selalu dalam situasi tidak aman.

Kondisi ini , lanjut Veni, juga diperparah dengan situasi kebijakan yang tidak berjalan untuk melindungi perempuan korban kekerasan. Seperti Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 7 Tahun 2012 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Rumah Sakit.

"Dimana seharusnya dua kebijakan ini bisa menjadi dasar pemebian layanan Psikososial dan hukum gratis bagi perempuan korban, namun tidak berjalan. Juga praktek pelaksanaan UU PKDRT yang tujuanya untuk melindungo korban, malah pelaksanaannya mengkriminalisasi korban," jelas Veni.

Selain itu lanjutnya kebijakan yang saat ini diinisiasi oleh DPR seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum dibentuk Panja dan dibahas. Juga dengan RKUHP yang masih menempatkan Perkosaan dalam Bab kesusilaan, bukan pada Bab Kejahatan Seksual. Artinya, kata Veni, masih mengangap perkosaan sebagai tindak pidana yang melanggar norma yang hidup di masyarakat dan kesusilaan.bukan bagian dari kejahatan.

"RKUHP juga masih memasukkan pasal tentang Pencabulan yang sudah lama dianulir dalam kebijakan baru seperti UU Perlindungan anak dan UU TPPPO," ujarnya.

 

Maka Untuk memastikan perempuan mendapatkan jaminan keadilan dan kondisi yang aman maka LBH Apik menuntut  aparat penegak hukum dan instansi pemerintah melaksanakan sistem peradilan pidana terpadu bagi perempuan korban kekerasan yang cepat, murah, transparan, adil serta berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender  di Indonesia. LBH Apik juga meminta aparat menghentikan kriminalisasi dan reviktimisasi  terhadap perempuan korban kekerasan.

"APH menghentikan Impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan Pemerintah DKI JAKARTA menjalankan amanat Perda No 8 tahun 2011 tentang  Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan dan pergub No 7 tahun 2012 tentang Pusat Pelayanan Terpadu agar memberlakukan layanan terpadu dan Visum secara Gratis bagi perempuan korban," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement