Jumat 03 Mar 2017 10:23 WIB

Atasi Masalah Sampah dengan Pendekatan Law Compliance

Diskus mengenai sampah perkotaan.
Foto: Istimewa.
Diskus mengenai sampah perkotaan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Masalah sampah menjadi pekerjaan rumah yang sangat sulit ditangani di daerah perkotaan. Namun demikian, salah cara yang bisa dilakukan untuk menekan permasalahan sampah adalah dengan pendekatan law compliance, yaitu menumbuhkan ketaatan masyarakat terhadap kaidah-kaidah hidup di perkotaan secara apik dan ramah lingkungan.

Dalam diskusi publik tentang manajemen sampah perkotaan dan timbunan sampah polysterene foam yang berlangsung di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/3), Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia (YPBI) Ananda Latif mengatakan, pendekatan law compliance dapat ditempuh dengan cara edukasi dan sosialisasi mengenai ekolabel 1 dan ekolabel 2 yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Diperlukan banyak SNI untuk produk-produk ramah lingkungan. Dengan demikian, masyarakat memperoleh pengertian yang benar tentang perilaku ramah lingkungan yang berkelanjutan,” kata Ananda melalui rilis yang diterima Republika, Jumat (3/3).

Ananda melanjutkan, selain pendekatan law compliance, masyarakat juga memerlukan manajemen pengelolaan sampah yang apik dan modern serta law enforcement yang tegas bagi pencemar lingkungan. Khusus bagi para pencemar lingkungan, aparat perlu menangani mereka secara komprehensif. 

Acara diskusi digelar YPBI bekerja sama dengan Badan Ekeskutif Mahasiswa  UPI Bandung dan Inswa. Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka hari sampah yang jatuh pada 21 Februari lalu dibuka oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemkot Bandung Kamalia Purbani. Hadir sebagai pembicara utama adalah Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Mohamad Salman Fauzi, Direktur Umum PD Kebersihan Pemkot Bandung Gun Gun Saptari Hidayat, penerima Kalpataru 2015 Sri Bessari, perwakilan dari BPPT, serta pengamat hukum lingkungan Abdulah Subur.

Mengenai timbulan sampah berbentuk polysterene foam (PS Foam) atau Styrofoam, Ananda tak setuju dengan reaksi Pemerintah Kota Bandung yang mengeluarkan Surat Edaran Wali Kota tentang Pelarangan PS Foam. Menurut Ananda, produsen kemasan plastik dan PS Foam yang mudah terurai (ramah lingkungan) seharusnya didorong untuk memacu ekonomi secara kreatif. “Jadi bukan dilarang karena dikhawatirkan akan mematikan industri dan berdampak pada bertambahnya pengangguran,” katanya.

Menurut dia, niat Wali Kota Bandung Ridwal Kamil untuk mengurangi sampah styrofoam memang baik. Akan tetapi, harus pula diberikan alternatif bagi pengguna styrofoam yang biasanya adalah para pedagang makanan. Apalagi, berdasarkan hasil survei yang dilakukan YPBI, kata Ananda, para padagang justru mengalihkan penggunaan kemasan makanan ke mika plastik yang tebal. 

“Ini kan selain harga kemasannya lebih mahal, juga bisa merusak lingkungan. Harusnya didorong para produsen plastik dan  PS Foam untuk menghasilkan produk-produk dengan jenis biodegradable atau minimal yang degradable (mudah terurai) dengan penggunaan logo SNI atau minimal ada logo Ekolabel di produk-pruduknya,” ujar Ananda.

Salman Fauzi menyatakan, pelarangan styrofoam hendaknya dipahami sebagai kebijakan yang memang seharusnya dilakukan untuk mengurangi sampah. Mengenai masukan dan kritikan atas surat edaran pelarangan penggunaan styrofoam tersebut, khususnya dari pengusaha produsen styrofoam, Pemkot Bandung tentu memperhatikan untuk perbaikan aturan ke depannya.

Adapun Sri Bebassari menyampaikan, masyarakat hendaknya bisa menjaga ketertiban dalam hal membuang sampah. Masyarakat yang baik akan mencegah sampah masuk ke sungai dan laut.

“Jadi harus sudah bersih dari darat, kalau ada sampah ke sungai dan ke laut itu artinya kecelakaan karena masih banyak orang yang buang sampah sembarangan,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement