REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sumatra Utara menempati posisi kedua sebagai provinsi dengan laporan terbanyak ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Isu konflik agraria menjadi kasus terbanyak yang diadukan di provinsi ini.
"Komnas HAM mendapatkan delapan ribu pengaduan. Dari jumlah itu, laporan terbanyak dari DKI Jakarta, kedua Sumatra Utara," kata Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila di Medan, Selasa (28/2).
Siti menyebutkan, laporan yang masuk dari Sumut didominasi oleh isu konflik agraria, terutama persoalan perkebunan. Menurut dia, tingginya persoalan agraria ini karena perkebunan di Sumut memiliki keunikan sejak zaman dulu. "Di Sumatra Utara, perkebunan punya keunikan tersendiri sejak zaman Belanda. Ada persoalan sipil dan politik serta persoalan ekonomi, sosial dan budaya," ujar dia.
Berdasarkan data yang masuk, institusi kepolisian menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan dari Sumut ke Komnas HAM. Perusahaan dan pemerintah daerah menyusul di bawahnya.
Siti menjelaskan, prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 masih belum diikuti beberapa peraturan perundangan, apalagi pada teknis pelaksanaan di lapangan. Mengacu pasal tersebut, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Kalau sekarang kita lihat banyak perusahaan yang memiliki ratusan bahkan ribuan hektare lahan, tapi banyak masyarakat yang tidak memiliki tanah atau bahkan sama sekali tidak mendapat akses tanah," kata Siti.
Siti berharap, Badan Pertahanan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah dapat menjalankan perannya sebagai mediator terkait banyaknya konflik agraria ini. Semua pihak pun diharap dapat berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk menyelesaikan berbagai konflik yang ada.
"Kami berharap gubernur yang sekarang dapat duduk bersama dengan Komnas HAM. Kalau BPN, kami relatif tidak ada masalah. Kita harus duduk bersama untuk mengurai isu pelanggaran HAM, terutama terkait konflik agraria di Sumut," ujar Siti.