Jumat 24 Feb 2017 17:15 WIB

Mohon Maaf, Urusan Kita Belum Selesai Koh

Husain Yatmono
Foto: dok.Pribadi
Husain Yatmono

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Husain Yatmono *)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI telah selesai dilaksanakan pada 15 Februari yang lalu. Beberapa hasil hitung cepat (quick count), telah menunjukkan dua pasangan meraih hasil maksimal. Secara resmi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta akan mengumumkan hasil rekapitulasi suara Pilkada DKI pada tanggal 16-27 Pebruari 2017, sebagaimana dilansir dalam situs resminya (http: www.kpujakarta.go.id)

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pilkada, hasil suara cagub dan cawagub harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk menjadi pemenang. Ini artinya untuk menjadi pemenang, calon harus memperoleh suara lebih dari 50 persen plus satu suara.

Karena dalam perhitungan cepat, tidak ada calon yang mendapatkan suara 50 persen lebih, akan digelar pemilihan umum putaran kedua. Tentu saja dana yang dihabiskan untuk menggelar pilkada putaran kedua ini, tidak sedikit. Ini adalah pemborosan anggaran, yang akan membenani APBD/APBN yang merugikan rakyat.

Di tengah-tengah kemiskinan yang ada di kota Jakarta, ibu kota negara, dana miliaran rupiah dibahiskan untuk sebuah pergolakan akbar perebutan kekuasaan. Apakah pesta Pilkada yang menghabiskan dana milyaran rupiah ini, akan membawa manfaat buat rakyat? Jauh panggang dari api.

Coba perhatikan, di Jakarta saja, berapa banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan? Berapa banyak orang yang tidak memiliki rumah? Berapa banyak penduduk yang tidak bisa bekerja karena tidak memiliki modal usaha? Berapa banyak anak jalanan yang mengantungkan hidupnya dari hasil kerja di jalan?

Rakyat akan disuguhi lagi sinetron tebar pesona yang menjadi hiasan wajib media elektronik, untuk menampilkan casing terbaik bagi sang calon, agar menarik untuk dipilih. Intrik-intrik politik agar calonnya memenangkan pertarungan ini akan dilakukan oleh para pengusung dan tim suksesnya. Semua ini akan menguras waktu, tenaga, pikiran dan dana. Opini akan berputar sekitar Pilkada DKI yang membosankan, masyarakat dinina bubukan dengan janji-janji muluk-muluk dari para calon, yang hanya sebuah fatamorgana.

   

Terlepas dari hiruk pikuk pilkada, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membuat kebijakan yang kontroversial. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah habis masa cuti karena kampanye, mendapatkan rekomendasi untuk menempati kembali posisi sebagai gubernur DKI Jakarta. Padahal, statusnya sebagai tersangka kasus penistaan agama dan masih dalam proses persidangan.

Beberapa ahli tata negara menentang kebijakan Mendagri ini, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut seorang kepala daerah yang didakwa dengan hukuman lima tahun penjara harus dibebastugaskan untuk sementara.

Mendagri beragumen bahwa dakwaan yang dikenakan kepada Ahok adalah pasal 156 dan pasal 156a KUHP. Dalam pasal 156, ancaman hukuman paling lama empat tahun, sementara dalam pasal 156a hukuman paling lama lima tahun penjara, jadi Mendagri masih menunggu tuntutan jasa.

Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan, tidak ada alasan lain untuk tidak membebastugaskan sementara Ahok dari jabatan gubernur DKI Jakarta. Menurut dia, tidak ada pasal lain dalam undang-undang itu yang mengatur harus menunggu tuntutan sebelum memberhentikan Ahok. Ini dakwaannya sudah jelas empat sampai lima tahun.

Lebih lanjut, Mahfud MD mengatakan: “Jika memang perintah ingin mempertahankan Ahok sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta yakni menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu ini untuk mencabut pasal 83 tersebut, tapi pemerintah harus menanggung akibat politik dari rakyat karena terlalu mengistimewakan Ahok.”

Upaya untuk melindung sang tersangka penista Alquran, Ahok, sangat kentara sekali sejak awal kasus ini mencuat ke permukaan. Meski hal ini dibantah oleh pemerintah maupun kepolisian, rakyat sudah cerdas, bisa menilai ada dipihak mana mereka. Tak tanggung-tanggung untuk mengawal agar sang penista tetap bisa melenggang, meski status sudah tersangka, dibuat kasus persidangan berjalan, bertele-tele. Bahkan sengaja diciptakan skenario bahwa sang penista adalah korban, yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Upaya kriminalisasi ulama dan tokoh masyarakat yang menjadi sanksi persidangan sangat kentara. Para saksi dituduh telah melakukan persaksi palsu, dan akan dituntut balik. Bahkan dengan congkaknya, sang penista, memperlakukan saksi ahli dari MUI KH Ma’ruf Amin, dengan tidak hormat, bahkan menuduhnya berbohong. Kontan saja reaksi kaum muslimin memuncak, atas perlakukan yang tidak hormat terhadap ulama yang sangat dihormati ini.

Meski kini, sang penista sudah diaktifkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta dan bebas beraktivitas setiap hari, namun urusan penistaan Alquran belum selesai, kaum Muslimin menghendaki sang penista di hukum. Kaum Muslimin menuntut keadilan bagi sang penista. Berkali-kali aksi yang dilakukan kaum Muslimin dengan misi hukum sang penista. Begitu sederhana tuntutannya, namun terasa sulit bagi pemerintah untuk memenuhinya.

Tidak salah kiranya jika rakyat mengatakan ada kekuatan yang cukup besar yang melindungi sang penista. Hanya sebuah ilusi mengharap keadilan dalam demokrasi. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

*) Pemerhati sosial dan politik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement