REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buzzer yang biasa melakukan pekerjaan menggiring opini publik di media sosial dinilai merusak demokrasi. Sebab, mereka membuat komunikasi di antar manusia menjadi tidak seimbang dan tidak adil.
Guru Besar Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Prof Ibnu Hamad mengatakan, salah satu indikator dalam demokrasi yakni setiap orang memiliki kebebasan berekspresi. Syarat demokrasi dalam kebebasan berekspresi semuanya berjalan dengan normal, rasional dan proporsional.
"Ada semacam keberimbangan di dalam situasi sosial itu, antara orang dengan orang lain itu seimbang, jadi siapa pun orangnya mempunyai hak yang sama dan rasionalisme yang sama," kata Ibnu kepada Republika.co.id di Gedung PP Muhammadiyah usai Dialog Pers Memaknai HPN 2017 bertema Memerangi Hoax dan Menangkal Penyalahgunaan Medsos, Selasa (21/2).
Namun, kata ia, tiba-tiba ada buzzer memasuki interaksi manusia di media sosial. Kemudian, para buzzer menyetir opini publik ke arah tertentu. Sehingga diskusi yang seharusnya berjalan dengan level sama dan interaksi sejajar oleh para buzzer digiring opininya.
Menurutnya, penggiringan opini seperti itu akan merusak demokrasi. Padahal demokrasi merupakan sebuah proses berpikir orang-orang yang diakhiri dengan pilihan rasional. Sementara, para buzzer menekan opini publik, opini yang disebarkan buzzer saja yang diarahkan demi kepentingan mereka.
"Itu yang saya maksudkan merusak demokrasi," ujarnya.