Selasa 21 Feb 2017 16:07 WIB

BNPB: Jakarta, Bekasi dan Tangerang Masih Rentan Banjir

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Kendaraan melintasi banjir yang menggenangi jalan menujun pintu tol Jatibening dan sebagian jalan tol di sekitar Jatibening, Bekasi, Jabar, Selasa (21/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kendaraan melintasi banjir yang menggenangi jalan menujun pintu tol Jatibening dan sebagian jalan tol di sekitar Jatibening, Bekasi, Jabar, Selasa (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, banjir yang mengepung wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang pada Selasa (21/2), menunjukkan wilayah tersebut masih rentan terhadap banjir. Bahkan beberapa wilayah makin meningkat.

"Rentannya wilayah banjir tersebut tidak terlepas dari dampak perubahan penggunaan lahan yang begitu pesat di wilayah Jabodetabek sehingga hampir 80 persen hujan jatuh berubah menjadi aliran permukaan. Sementara itu kapasitas drainase dan sungai jauh lebih kecil daripada debit aliran permukaan," katanya dalam keterangan tertulis BNPB, Selasa (21/2).

Akibatnya, banjir dan genangan terjadi di mana-mana. Dari citra satelit Landsat tahun 1990 hingga 2016 menunjukkan permukiman dan perkotaan berkembang luar biasa. Permukiman nyaris menyatu antara wilayah hulu, tengah, dan hilir dari daerah aliran sungai yang ada di Jabodetabek.

Minimnya ruang terbuka hijau atau kawasan resapan air sehingga suatu keniscayaan air hujan yang jatuh sekitar 80 persennya berubah menjadi aliran permukaan. Bahkan di wilayah perkotaan sekitar 90 persen menjadi aliran permukaan.

 

Kapasitas sungai-sungai dan drainase perkotaan mengalirkan aliran permukaan masih terbatas. Okupasi bantaran sungai menjadi permukiman padat menyebabkan sungai sempit dan dangkal. Sungai yang harusnya selebar 30 meter, saat ini hanya sekitar 10 meter.

Bahkan ada sungai yang lima meter. Sudah pasti kondisi tersebut menyebabkan banjir. Relokasi permukiman di bantaran sungai adalah keniscayaan jika ingin memperlebar kemampuan debit aliran. Tapi sering kali relokasi sulit dilakukan karena kendala politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Penataan ruang harus dikendalikan. Daerah-daerah sempadan sungai, kawasan resapan air dan kawasan lindung harus dikembalikan ke fungsinya. Tidak mungkin Pemda Jakarta sendirian mengatasi banjir. Harus kerjasama dengan pemerintah pusat dan pemda lain.

"Studi banjir dan masterplan pengendalian banjir sudah ada sejak lama. Tinggal komitmen bersama," ujarnya.

Berdasarkan data BMKG, curah hujan yang turun yang menyebabkan banjir Jakarta dan sekitarnya adalah Lebak Bulus 71,7 mm, Pakubuwono 106 mm, Beji 65 mm, Depok 83 mm, Gunung Mas 39 mm, Pasar Minggu 106,5 mm, Tangerang 92,5 mm, Pondok Betung 67,4 mm, Cengkareng 72 mm, Tanjung Priok 115,9 mm, Kemayoran 180 mm, Dramaga 75 mm, Curug 37,5 mm, Kelapa Gading 145,4 mm, TMII 48,8 mm, Parung 21,8 mm,  Jagorawi 72.5 mm, Mekarsari 60,8 mm, Leuwiliang 89,7 mm, Katulampa 35,8 mm, dan Bekasi 65 mm. Tebal curah hujan tersebut tergolong hujan sedang hingga lebat.

Curah hujan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan hujan yang menyebabkan banjir di Jakarta pada 2007, 2013, dan 2014 yang saat itu mencapai 200 mm hingga 350 mm. Peluang hujan ekstrem saat ini makin sering terjadi. Artinya wilayah Jabodetabek juga makin tinggi risikonya terjadi banjir jika tidak dilakukan upaya pengendalian banjir yang komprehensif dan berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement