Kamis 09 Feb 2017 20:47 WIB

TII: Perlu Ada Pengendalian Risiko Korupsi di Kemenhan dan TNI

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (9/2).
Foto: Republika/Pool/Widodo S Jusuf
Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh pengadaan Helikopter WA 101 dinilai mencerminkan tingginya risiko pemborosan dan korupsi di sektor pertahanan maupun militer. Tertutupnya suatu lembaga pemerintahan berpotensi memiliki risiko korupsi yang tinggi.

Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menuturkan lembaga yang tertutup seperti TNI biasanya mempunyai risiko korupsi yang tinggi. Studi yang dilakukan TII tentang Indeks Risiko Korupsi Sektor Pertahanan dan Keamanan menunjukkan hal itu.

Di dalam indeks tersebut, ada enam kategori risiko korupsi : sangat rendah (Band A), rendah (Band B), moderat (Band C), tinggi (Band D), sangat tinggi (Band E) dan kritis (Band F).  Pada kurun 2013-2015, indeks risiko korupsi TNI membaik dari kategori E ke D.

"Indeks itu dibangun dari penilaian lima aspek, risiko politik, risiko keuangan, risiko personil, risiko operasional, dan risiko pengadaan barang dan jasa," ujar dia dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (9/2).

Dadang melanjutkan, ada beberapa faktor  yang menyebabkan tingginya risiko korupsi di tubuh Kemenhan maupun TNI saat ini. Pertama, lemahnya kontrol politik dari parlemen maupun kontrol publik dari masyarakat terhadap institusi militer.

Kedua, lemahnya kontrol dan pengawasan internal di lingkungan Kemenhan maupun TNI. Ketiga, kurangnya partisipasi publik dalam proses legislasi, kebijakan dan penganggaran sektor pertahanan dan keamanan.

Keempat, kurangnya transparansi  dan akuntabilitas  pengelolaan anggaran belanja Kemenhan maupun TNI. Kelima, kurangnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pengadaan barang dan jasa di Kemenhan maupun TNI.

Keenam, adanya dualisme sistem peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan prajurit TNI. Pengendalian risiko korupsi, sebagai bagian dari pembenahan tata kelola di Kemenhan/TNI sangat mendesak dilakukan. 

"Ini adalah reformasi gelombang kedua yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pertahanan, setelah sebelumnya berhasil meletakkan TNI di bawah kontrol sipil dan memisahkan Polri dari TNI," kata dia.

Penurunan risiko korupsi ini krusial untuk meningkatkan kemampuan Kemenhan maupun TNI dalam menjaga kedaulatan negara, menjamin keamanan warga, menjaga keselamatan prajurit TNI, dan meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI dan keluarganya. "Salah satu indikator kesejahteraan prajurit TNI adalah ketersediaan hunian yang layak," ujar dia.

 Saat ini, lanjut dia, diperkirakan lebih 200 ribu atau 52 persen prajurit TNI belum mempunyai rumah sendiri. Sungguh ironis dan patut disesalkan, korupsi pengadaan alutsista yang dilakukan Brigjen TNI Teddy Hernayadi terjadi pada saat  ratusan ribu prajurit TNI belum memiliki rumah sendiri. 

Karena itu, Dadang mengatakan, perlu ada upaya meningkatkan fungsi kontrol politik parlemen terhadap kebijakan dan perilaku institusi militer dalam mengelola sumberdaya dan tata kelolanya. Anggota DPR,  khususnya anggota Komisi I DPR,  selain harus meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya tentang pertahanan dan keamanan, industri serta perdagangan alutsista. 

Selain itu, juga perlu mendorong dan memperdalam keterlibatan dan kontrol publik dalam proses legislasi, kebijakan dan penganggaran sektor pertahanan dan keamanan. Organisasi masyarakat sipil harus mempunyai kapasitas dan kompetensi yang cukup untuk  terlibat dalam proses-proses tersebut. Demikian juga institusi media dan asosiasi jurnalisnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement