REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati mengatakan tingkat kesiapsiagaan masyarakat DKI dalam menghadapi bencana banjir dan kebakaran masih rendah.
"Rendahnya tingkat kesiapsiagaan itu karena banyak pengetahuan tentang bencana yang belum mereka ketahui," kata Deny di LIPI, Jakarta, Selasa (7/2).
Pengetahuan masyarakat tentang kebakaran dan banjir belum sepenuhnya dapat membangkitkan semangat mereka untuk melakukan tindakan nyata untuk meningkatkan kesiapsiagaan masayrakat dalam mengantisipasi bencana di daerahnya.
Keadaan itu digambarkan oleh masih terbatasnya rencana dan upaya masyarakat untuk merespons kondisi darurat bila terjadi bencana.
"Seperti pada bencana banjir, mereka tahu harus melakukan apa ketika banjir. Akan tetapi, jika ada peringatan dini tentang banjir, mereka tidak merespons hal tersebut. Mereka masih tinggal di rumah sampai air lebih tinggi. Mereka hanya menyiapkan barang-barang untuk diletakkan di tempat yang lebih tinggi," kata Deny.
Deny bersama timnya yang telah melakukan penelitian tentang "Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantsisipasi Kebakaran dan Banjir di Jakarta Barat" mengatakan bahwa presepsi masyarakat tentang banjir dan kebakaran juga memengaruhi rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat.
Dari hasil kajiannya, dia menemukan bahwa hampir 80 persen masyarakat Jakarta menganggap jika banjir hanya selama 1 sampai dengan 3 jam adalah keadaan yang normal, bahkan ada juga masyarakat yang menanggap banjir selama 4 sampai dengan 12 jam adalah keadaan yang normal.
Untuk meningkatkan keisapsiagaan masyarakat, menurut dia, perlu upaya mengubah presepsi mereka. Tingkat pendidikan masyarakat pun tidak jadi faktor yang membedakan presepsi tentang bencana tersebut.
"Seperti di Pianangsia, masyarakat yang tamatan SD maupun yang berpendidikan tinggi juga memiliki presepsi yang sama saat menghadapi bencana. Banjir dianggap menjadi hal yang biasa terjadi, terutama pada musim hujan," katanya.