Selasa 07 Feb 2017 17:18 WIB

Yudi Latif: Hoax Meluruhkan Nalar Etis

Rep: Binti Sholikah/ Red: Ilham
Yudi Latif
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Yudi Latif menyatakan, penyebaran informasi hoax dapat meluruhkan nalar etis bangsa. Hoax juga dapat membunuh rasa saling percaya yang menjadi benang pengikat bangsa Indonesia.

Hoax ini bagi masyarakat majemuk Indonesia bisa menjadikan disinformasi saling tidak percaya. Padahal, simpul yang menyatukan kita karena percaya satu sama lain, dan hoax ini membunuh rasa saling percaya,” kata Yudi Latif kepada wartawan seusai memberikan materi acara Seminar Nasional Kebangsaan bertema Hoax dan Dunia Akademik di Kantor Pusat Bank Jatim, Surabaya, Selasa (7/2).

Pakar ilmu politik ini mengatakan, merebaknya penyebaran hoax mencerminkan sesuatu yang lebih sinister ketimbang sekedar berita kebohongan. Hal itu mencerminkan dekadensi nalar-etis dan nalar-ilmiah dalam masyarakat.

Ia menjelaskan, industri hoax berkembang pesat dalam konteks masyarakat dengan minat baca nomor dua terendah setelah Boswana di dunia ini, tapi penggunaan media sosialnya nomer empat di dunia. Pengguna media sosial dapat dikatakan sebagai pseudo-literacy. Meskipun aktivitasnya memerlukan kemampuan baca tulis, tapi hakikat penggunaannya merupakan perpanjangan dari tradisi kelisanan, yang tidak begitu memerlukan presisi dan nalar ilmiah yang ketat.

“Yang terlibat dalam pesta pora (hoax) ini termasuk orang-orang yang terdidik yang seringkali tidak mencerminkan sikap ilmiah. Saya lihat hoax ini meluruhkan nalar etis kita dan juga nalar ilmiah,” ujar alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo tersebut.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar masyarakat bijak menggunakan teknologi. Pemanfaatan teknologi akan mendapat berkah jika dibarengi oleh sikap nalar etis sebagai bangsa yang berbakti kepada Pancasila dengan nalar ilmiah sebagai verifikasi.  

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf berharap para generasi muda menggunakan internet untuk kepentingan produktif. Sebab, perkembangan internet cukup pesat untuk memenuhi kebutuhan pengguna di era sekarang ini. Di Indonesia, pengguna internet setiap tahun meningkat, jumlahnya mencapai 132 juta pengguna. Diperkirakan tahun ini bisa mencapai 140 juta pengguna.

Gus Ipul menyampaikan fakta di Indonesia terdapat lebih dari 800 ribu situs penyebaran hoax. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70 persen menyebar lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain, 20 persen menyebar melalui tayangan pesan instan seperti SMS, Whatsapp, Blackberry Mesanger, Line, dan lainnya, serta 10  persen menyebar melalui blog dan surel. Di samping itu, sekitar 60 persen pembuat, penyebar dan penikmatnya termasuk kategori usia produktif, yakni 17-40 tahun.

Menurut Gus Ipul, sapaan akrabnya, internet memungkinkan penggunanya untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi, serta pemikiran apa pun secara instan dan murah lintas batas negara. “Penggunaan internet yang produktif juga dapat meningkatkan pembangunan ekonomi sosial politik budaya dan memberikan kontribusi untuk kemajuan umat manusia,” kata Gus Ipul.  

Saat ini, penggunaan internet telah merambah pelosok desa. Pengguna internet juga bukan hanya kalangan dewasa, melainkan anak-anak, bahkan balita.

Gus Ipul menilai, banyak tantangan ke depan, termasuk berita bohong, berita palsu, maupun wacana SARA yang bisa mengancam perpecahan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang mendorong penggunaan internet untuk kepentingan yang produktif, terutama bagi generasi muda.

Seminar Nasional Kebangsaan tersebut diharapkan dapat menggali langkah ke depan agar penggunaan internet untuk hal-hal yang produktif, kemajuan, dan kebersamaan. “Jika perlu sebagai tempat menggalang kekuatan membangun kebersamaan, saling percaya, dan mengembangkan budaya ilmiah,” kata Gus Ipul.

Mengenai tantangan kebangsaaan saat ini, Gus Ipul menjelaskan, jejaring internet memungkinkan siapa saja berinteraksi yang terkadang disertai kebencian (hate speech) terkait ideologi ataupun pemahamanan tertentu yang cenderung bertentangan dengan pihak lain. “Ujaran kebencian itu berupa penghinaan pencemaran nama baik penistaan perbuatan tidak baik menyenangkan provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong dengan dampak terjadinya diskriminasi kekerasan serta konflik. Yang menyebarkan berita bohong tidak hanya yang literasi rendah, tetapi yang berpendidikan juga mengembangkan berita-berita bohong,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement