Sabtu 04 Feb 2017 00:08 WIB

Ini Penyebab Kenapa Media Sosial Menjadi Alat Politik

Rep: Lintar Satria/ Red: Andi Nur Aminah
Media sosial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Redaktur Khusus Republika Nasihin Masha melihat ada perubahan alat menarik suara dalam pemilihan-pemilihan umum di Indonesia. Pada 2004, dia mengatakan, partai politik menggunakan polling untuk menarik suara. Lalu pada Pemilihan Umum 2014 media sosial menjadi alat untuk menarik suara.

"Ini sangat menarik di Indonesia kenapa masif, cepat sekali. Indonesia juga pengguna yang besar sekali untuk sosial media karena orang Indonesia suka ngerumpi, bukan hanya ibu-ibu, tapi semuanya," kata Nasihin, dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah yang bertema Dunia Medsos dan Figih informasi, Jumat (3/2).

Sehingga pembicaraan yang sebelumnya harus bertatap muka dulu menjadi langsung ke individu. Dan berbeda dengan televisi ketika di jalan tidak bisa mendapat informasi. Sekarang ketika ada telpon pintar seseorang bisa mendapat informasi dimana saja.

Nasihin mengatakan maka sangat rasional jika media sosial dipakai untuk alat politik. Karena, lanjutnya, siapa yang bisa memengaruhi pikiran orang maka ia bisa mengendalika masyarakat. Dan itulah enurut Nasihin yang saat ini terjadi. "Dan setiap kekuasaan itu selalu punya narasi, punya cerita, karena kalau tidak punya cerita akan susah membentuk fikiran orang," kata Nasihin.

Nasihin menambahkan dalam demokrasi akan susah memengaruhi fikiran orang bila tidak memiliki cerita atau narasi. Karena itu, lanjutnya, dalam setiap kali kampanye ada pencitraan tertentu.

Nasihin mendefinisikan hoax secara grammatikal sebagai sebuah kebohongan yang sengaja dibuat seolah sebagai sebuah kebenaran. Dalam dunia politik, menurut Nasihin, hoax diciptakan seperti itu. "Lain lagi ada fake news adalah berita hoax, disinformasi dan berisi propaganda seolah-olah terlihat sebagai berita nyata," lanjut Nasihin.

Nasihin mengatakan ada website yang memang sengaja diternak untuk menciptakan berita-berita palsu tersebut. Karena itu pembaca harus jeli. Bahkan media mainstream pun, kata Nasihin, tidak luput dari kesalahan.

"Banyak juga media mainstream lolos, karena terlalu semangat atau memang faktor-faktor sifatnya personal sehingga ia terjebak dalam permainan-permainan seperti itu," tambah Nasihin.

Yang lebih sedih, lanjutnya, ada media-media besar yang independesinya harus dipertanyakan. Karena digunakan untuk kepentingan politik. Nasihin mengatakan media ini berbeda dengan media bersikap.

Media bersikap, jelas Nasihin, yang secara sadar menghambakan dirinya untuk permainan politik itu berbeda. Nasihin menegaskan dengan segala kondisi Indonesia yang belum jelas segala aturannya ia memilih untuk memiliki sikap.

"Sebaiknya media di Indonesia itu jangan ikut-ikutan endorsement deh, seperti yang terjadi di Barat. Bahkan di Barat pun sangat jarang media-media besar yang melakukan endorsement kecuali beda negara seperti Economist Inggros memberikan Obama, jadi relatif tidak mempunyai kepentingan," jelas Nasihin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement