Selasa 31 Jan 2017 13:08 WIB

Kampus Diminta Cegah Kekerasan Saat Kegiatan Ekstrakurikuler

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Dwi Murdaningsih
Jenazah mahasiswa UII yang meninggal dalam pendidikan dasar mapala UII asal Lombok Timur dibawa ke pemakaman umum Pringgasela, Lombok Timur, Rabu (25/1).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Jenazah mahasiswa UII yang meninggal dalam pendidikan dasar mapala UII asal Lombok Timur dibawa ke pemakaman umum Pringgasela, Lombok Timur, Rabu (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal Jakarta Fahira Idris menilai kampus belum steril dari kekerasan. Dia mengatakan dalam kurun waktu sebulan ini saja sudah terjadi dua peristiwa kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya beberapa orang mahasiswa.

Hal itu terjadi karena konsekuensi hukum yang harus ditanggung oknum mahasiswa pelaku tindak kekerasan pada tahun-tahun sebelumnya ternyata belum menjadi pelajaran berharga. Bahkan, ancaman sanksi pemecatan hingga pidana penjara, belum benar-benar menjadi efek jera, sehingga tindak kekerasan terutama yang dilakukan senior kepada juniornya masih saja terjadi.

"Selama perguruan tinggi tidak mengidentifikasi potensi -potensi kekerasan yang bakal terjadi di kampusnya masing-masing dan merumuskan formulasi mencegahnya, maka di tahun-tahun mendatang peristiwa menyakitkan seperti ini akan terulang," kata Fahira, dalam siaran persnya, Selasa (31/1).

Dirinya berharap, tahun ini harus jadi yang terakhir ada mahasiswa harus meregang nyawa karena tindakan konyol seniornya. Ia meminta, jangan ada lagi orang tua yang mengantar anaknya ke kampus segar bugar, tetapi pulang tinggal jenazah.

"Jangan ada lagi orang tua yang hancur hatinya," ujarnya.

Menurut Fahira, realitas kekerasan di perguruan tinggi yang masih saja terjadi walau sanksi tegas sudah diberlakukan, menunjukkan kekerasan sudah menjadi mata rantai bahkan budaya. Oleh karena itu, masing-masing kampus harus melakukan kajian komprehensif atas segala hal yang dapat memicu tindakan kekerasan sehingga bisa merumuskan strategi mencegahnya.

Masing-masing kampus, kata Fahira, mempunyai potensi dan pola praktik kekerasan yang berbeda-beda. Walaupun mungkin mempunyai gejala-gejala yang sama, misalnya bersemainya potensi kekerasan biasanya terjadi di tahun ajaran baru atau pada saat mengikuti kegiatan ekstra kurikuler.

Keyakinan atau pembenaran bahwa melakukan tindak kekerasan kepada junior adalah hal yang biasa karena sudah menjadi tradisi, budaya, apalagi dianggap sebagai ajang memperkuat fisik dan mental, harus dihapus dari benak semua mahasiswa, karena keyakinan seperti inilah yang membuat kekerasan terus berulang.

Dia meminta pendekatan mencegahnya harus komprehensif jika mata rantai kekerasan ini mau diputus. Dirinya berharap, pimpinan kampus mengambil inisiatif ini agar tidak terus menjadi seperti pemadam kebakaran dalam setiap tindak kekerasan yang terjadi di kampus.

"Tantangan dunia pendidikan kita sangat berat. Harusnya praktik tindak kekerasan seperti ini sudah menjadi sejarah," ujar Fahira.

Pendidikan, terlebih pendidikan tinggi, lanjut Fahira, sejatinya adalah alat mentransformasi siapa saja menjadi manusia seutuhnya agar berani mengubah penindasan menjadi keadilan, ketertinggalan menjadi sebuah peradaban, dan kekerasan menjadi kedamaian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement