Rabu 25 Jan 2017 01:00 WIB

Tidak untuk Presidential Threshold

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Foto: istimewa
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edy Mulyadi *)

“Siapakah pemilik sejatinya Indonesia?” Sungguh, ini adalah pertanyaan yang teramat sederhana dan mudah jawabnya. Tentu saja, *pemilik sah Indonesia adalah rakyat*. Hampir bisa dipastikan, setiap orang waras akan sepakat dengan jawaban itu.

Itu artinya, rakyat Indonesia-lah yang paling berhak menentukan nasib dan bagaimana mengatur negara ini. Rakyat berhak memutuskan bagaimana bentuk negara ini. Mau kerajaan, republik, federasi, bahkan kekhilafahan sekali pun, kalau rakyat yang menghendaki, maka jadilah demikian. Pendek kata, rakyat sebagai pemilik negeri yang menentukan ‘merah-hitamnya’ Indonesia. Inilah konsekwensi paling mendasar dari dianutnya demokrasi.

Tapi, di Indonesia, pertanyaan dan jawaban sesederhana itu pun ternyata jadi rumit luar biasa. Kalau tidak percaya, tengok saja kegaduhan yang tengah berlangsung di Senayan sana. Bagaimana sekelompok orang, yang konon disebut wakil rakyat, sedang ngotot menghendaki pemimpin nasional hanya ditentukan partai-partai tertentu. Mereka tengah membuat Undang undang Pemilu, yang di dalamnya ada pasal yang membatasi seseorang maju menjadi Capres. Istilah ini popularnya disebut sebagai presidential threshold (PT).

Rada sulit memahami alur pikir orang-orang yang berada di PDIP, Golkar, dan Nasdem (juga PKS?). Mosok untuk hal sesederhana itu mereka gagal paham. Semestinya, usai Mahkamah Konstitusi menetapkan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden diselenggarakan berbarengan mulai 2019, pembahasan mengenai presidential threshold di DPR sudah tidak relevan lagi.

Di era paska reformasi, rakyat sepertinya memang diberi kebebasan memilih pemimpinnya. Rakyat, seolah-olah, memiliki hak penuh dalam menginginkan sosok presidennya. Tapi, oligarki politik telah melahirkan sistem kebebasan yang semu. Kebebasan memilih dibatasi pada sekat-sekat yang amat ketat. Dengan ketentuan PT, rakyat disuguhi para capres yang sejatinya tidak pantas dan tidak layak.

Tidak pantas, karena para capres itu adalah bagian dari masalah. Ketika orde baru berkuasa, mereka adalah para pendompleng kekuasaan. Dengan segala privilege yang ada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Para capres itu juga  sama sekali tidak layak, karena kapasitas dan kapabelitasnya jauh di bawah banderol yang dibutuhkan seorang presiden sebuah negara besar bernama Indonesia. Banyak dari calon yang muncul kualitasnya masuk kategori abal-abal. Sisanya yang lain, mutunya KW2, KW3 dan seterusnya. Ada juga yang karbitan, muncul dan ‘besar’ karena polesan media yang digerojok duit bejibun.

Guna melindungi jagoannya, orang-orang di DPR ini membuat barikade munculnya capres baru. Caranya, dengan mematok presidential threshold pada angka memiliki 20 persen kursi di DPR atau mengantongi 25 persen suara sah hasil pemilu terakhir. Dengan peta kekuatan PDIP 109 kursi, Golkar 91 kursi, dan Nasdem 36 kursi, mereka merasa bakal memenangi pertarungan.

Kalau ditambah dengan Demokrat yang punya 61 kursi, tentu modal mereka makin besar saja. Maklum, hingga kini, posisi partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu masih belum jelas posisinya. Jumlah ini bakal makin membangkak, karena PKS dengan 40 kursi sepertinya akan masuk gerbong pengusung PT. Jika skenario ini berlangsung mulus, total suara kelompok ini mencapai 337 kursi dari 560 kursi yang ada. Artinya, mereka menggenggam 60,17 persen suara. Sementara partai-partai kecil seperti Gerindra, PPP, PKB, PAN, dan Hanura harus puas mengunyah sisanya. Angka-angka inilah yang membuat pengusung PT mereka superpede.

Presiden harus mumpuni

Sikap para pengusung ambang batas capres ini jelas-jelas mengingkari hak rakyat untuk memiliki pemimpin (baca Presiden) terbaik sebagaimana yang diinginkan. Lagi pula, keinginan tersebut adalah suatu hal yang wajar, sama sekali tidak berlebihan. Bahkan, bisa dikatakan keinginan rakyat punya Presiden yang mumpuni adalah suatu keharusan.

Namun, dengan oligarki dan sistem yang dilahirkan para pekerja partai di DPR itulah, rakyat dipaksa memilih para capres dengan profil seadanya. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan adalah petugas partai. Presiden terpilih bekerja lebih untuk kepentingan partai ketimbang melayani dan menyejahterakan rakyat. Inilah yang menjelaskan, mengapa Indonesia tidak kunjung bisa terbang tinggi. Indonesia tetap saja tertinggal. Jangankan untuk skala global, di level ASEAN saja, kita terkulai.

Kalau tarik-ulur perkara ini berakhir di pemungutan suara, hasilnya gampang ditebak. Para penikmat oligarki akan keluar sebagai pemenang. Ini artinya, rakyat kembali disuguhi para capres yang dia lagi dia lagi. Risikonya, elit Indonesia akan disesaki para pemeras yang bekerja untuk kepentingan politik-fulus atau fulus-politik.

Pertanyaannya, apakah rakyat akan pasrah saja? Apakah rakyat akan membiarkan bencana tersebut kembali terjadi? Kalau anda tanya saya, maka jawab saya TIDAK dengan huruf besar dan tebal. Tinggal, bagaimana caranya, nah ini yang mari kita rumuskan bersama.

Jakarta, 24 Januari 2017

*) Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement