REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menelusuri apakah ada 'kick back' (suap/imbalan) terkait PT Garuda Indonesia yang memilih mesin dari Rolls-Royce PLC untuk pengoperasian pesawat jenis Airbus SAS. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan KPK belum bisa memastikan apakah akan memanggil pihak Airbus maupun Rolls-Royce, Syarif menyatakan belum bisa memastikannya.
"Apakah akan diperiksa, kalau seandainya dibutuhkan keterangan dari Airbus atau Rolls-Royce, itu akan dilakukan. Tetapi untuk info yang kami dapatkan sekarang, semua informasi yang dimiliki Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang bisa membantu penyidikan akan dibagikan secara bersamaan," ucap Syarif, saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/1).
KPK: Kasus Suap Emirsyah tidak Libatkan Garuda Indonesia
Diketahui, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar dan "Beneficial Owner" dari Connaught International Pte Ltd, Soetikno Soedarjo (SS) menjadi tersangka kasus indikasi suap dengan pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT Garuda Indonesia. Menurut Syarif, pengadaan pesawat dan mesin pesawat itu dilakukan saat tersangka ESA menjadi Direktur Utama periode 2005-2014 di mana setiap tahun jumlah pengadaannya berbeda-beda.
"Bahwa ada tiga jenis mesin yang bisa dipakai Airbus, apakah Rolls-Royce pilihan yang terbaik untuk Airbus? Kalau memang bagus untuk Airbus milik Garuda, ya bersyukur. Tetapi jangan sampai karena ada suap jadi mereka memilih itu sehingga KPK sangat serius menangani hal itu," kata Syarif.
Syarif juga menyatakan bahwa perkara ini tergolong bentuk korupsi lintas negara atau transnasional sehingga dalam penanganan kasus ini, KPK bekerja sama dengan SFO Inggris dan CPIB Singapura. "Saat ini kedua badan tersebut juga sedang melakukan penyidikan terhadap tersangka lainnya," tuturnya.
Tersangka ESA diduga menerima suap dari tersangka SS dalam bentuk uang dan barang, yaitu dalam bentuk uang masing-masing 1,2 juta Euro dan 180.000 dolar AS atau setara Rp 20 miliar. Sedangkan dalam bentuk barang senilai Rp 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia. Terhadap ESA disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Sedangkan terhadap SS diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) Kita Undang-Undang Hukum Pidana.