REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI), Polri dan akademisi menggelar focus group discussion (FGD) di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) pada Selasa (17/1). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menjadi narasumber di FGD yang bertema Fatwa MUI dan Hukum Positif.
Mahfud mengatakan, acara FGD kali ini untuk mensinkronkan pemahaman bersama antara Polri dan MUI yang sebenarnya sudah sama. Peserta FGD dari Polri, ulama dan akademisi. Mereka semua sama berpendapat bahwa fatwa MUI bukan hukum positif. Sehingga, tidak boleh menggunakan aparatur negara untuk melaksanakan atau untuk menegakkannya.
"Penting, masyarakat diberi pemahaman bahwa urusan fatwa MUI adalah urusan kesadaran masing-masing pribadi di internal umat Islam," kata Mahfud kepada Republika.co.id, Selasa (17/1).
Ia menerangkan, artinya tidak boleh melakukan langkah-langkah penegakan sendiri. Mengunakan aparat negara untuk menegakkan fatwa MUI tidak boleh, apalagi LSM atau ormas menegakkannya sendiri.
Menurutnya, hal tersebut tidak boleh dilakukan. Sebab, fatwa MUI untuk keperluan pribadi umat Islam, artinya amaliah pribadi. Maka tidak boleh dipaksakan ke orang lain.
"Bahkan umat Islam pun sendiri kalau tidak setuju dengan isi fatwa itu tidak apa-apa, apalagi umat yang bukan Islam," ujarnya.
Menurutnya, fatwa MUI secara etik dan moral sanksinya bersifat otonom, artinya datang dari dalam diri subjek hukum yang bersangkutan. Tetapi kalau sudah menjadi hukum positif maka sanksinya bisa dipaksakan oleh negara.
Saat ini fatwa MUI belum menjadi hukum positif. Belum pernah ditetapkan lembaga negara sebagai hukum. Sehingga tidak bisa dipaksakan. "Apakah fatwa MUI itu bagus, bagus sekali. Apakah fatwa MUI penting, penting sekali sebagai bimbingan," jelasnya.
Ia menegaskan, tetap penting atau pun bagus tidak bisa mengunakan alat negara untuk menegakkannya. Sebab, alat negara hanya untuk menegakkan hukum positif.