REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persidangan kasus Ahok yang dituduh melakukan penodaan agama berlanjut pada Selasa (17/1) dengan agenda pemeriksaan pelapor. Pada sidang keenam kasus ini, ada kekhawatirkan di proses persidangan justru pelapor yang ditekan, sama seperti sidang sebelumnya yang cenderung menyalahkan pelapor.
Ahli Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Abdul Chair Ramadhan mengungkapkan pada pemeriksaan kali ini, dapat dipastikan pihak Penasehat Hukum (PH) Ahok akan kembali melakukan penekanan sebagaimana dilakukan terhadap para pelapor sebelumnya.
"Kualitas para pelapor akan kembali dipertanyakan dengan berdalih para pelapor bukan yang menyaksikan secara langsung pada saat Ahok pidato di Kepulauan Seribu. PH Ahok dan atau Ahok sendiri dipastikan akan berujar bahwa BAP para pelapor relatif sama, tidak ada perbedaan yang berarti," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (17/1).
Kondisi ini akan dikaitkan dengan para kualitas para pelapor yang hanya mendasarkan pada rekaman video (youtube). Kemudian, dia mengatakan penasehat hukum Ahok akan menjadikan pemeriksaan hari ini untuk kepentingan pembelaan (pledoi).
Pada tahap selanjutnya dan akan diberdayakan untuk penguatan opini di masyarakat bahwa Ahok korban kriminalisasi umat Islam yang mereka identikkan dengan FPI dan Aksi Bela Islam. "Sesungguhnya PH Ahok sangat menyadari bahwa 'mempersalahkan' para pelapor tidaklah strategis dan tentunya tidak signifikan terhadap kepentingan pembelaan yang akan mereka sampaikan kelak," kata dia.
Berdasarkan pengamatan dia, debat dalam berbagai kesempatan diketahui bahwa pihak Ahok akan bertahan habis-habisan untuk mendalilkan harus adanya syarat, tindakan berupa peringatan terlebih dahulu (ultimum remedium). Ini mereka dasarkan pada ketentuan Pasal 2 Jo Pasal 3 UU No.1 PNPS/1965.
Selain itu, penting bagi pihak Ahok mendalilkan bahwa Pasal 156a KUHP adalah kumulatif. "Di sini mereka akan beragumen bahwa huruf b haruslah dibuktikan adanya korban yakni hilangnya keyakinan terhadap Tuhan YME, oleh karenanya dapat dimengerti PH Ahok berpendapat huruf a dan huruf b pada Pasal 156a bersifat kumulatif dan delik materil," ujarnya.
Terakhir, ia menilai yang menjadi fokus utama pembelaan adalah perihal "kesengajaan" sebagai unsur kesalahan yang bersifat subjektif. Maksudnya, Ahok 'diposisikan' tidak bermaksud dalam artian tidak menghendaki dan tidak mengetahui (willen en wetten) terhadap perbuatan dan akibat yang terjadi. Dengan lain perkataan, jikapun didalilkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa perkataan Ahok telah menodai kesucian Alquran, atau penghinaan terhadap Umat Islam, maka kuasa hukum akan berdalih bahwa hal itu tidaklah dilakukan "sengaja dengan maksud" (opzet als oogmerk).
Oleh karena itu ia membaca kuasa hukum Ahok akan meminta kepada Majelis Hakim terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Pertanyaanya, kata Abdul Chair, mengapa kuasa hukum Ahok akan berlindung di balik unsur kesalahan (mens rea) dan bukan unsur perbuatan pidana (actus reus).
"Sangatlah mudah menjawabnya, sebab melalui sistem alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence), Ahok akan terbukti melakukan tindak pidana Pasal 156 atau 156a KUHP," ujarnya.