REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang uji materi pasal perzinaan dalam KUHP, yakni pasal 284 ayat 1 hingga 5, memasuki babak baru pada 2017. Sidang tersebut sudah memasuki yang ke-17, dan menjadi yang pertama kali digelar pada 2017. Kali ini, Kamis (12/1), sidang menghadirkan ahli dari pihak terkait, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri).
Ahli dari Persistri, Edi Setiadi menuturkan pasal 284 dalam KUHP harus dilakukan re-evaluasi, re-orientasi dan re-formulasi. Menurut dia, makna pasal 284 dalam KUHP bertentangan dengan undang-undang perkawinan dan konstitusi 1945.
"Karena dari Undang-undang dan konsitusi 1945 inilah kita dapat mengetahui cita-cita dari sebuah perkawinan dan cita-cita dari menyejahterakan rakyat," tutur dia dalam sidang di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/1).
Edi melanjutkan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini sesuai dengan pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalamnya meliputi anak dan keluarga besar lainnya.
Edi memaparkan, berdasarkan asas konkordansi pasal 284 KUHP secara mutatis mutandis adalah sama dengan pasal 241 Nederland Strafwetboek. Hanya saja, ketentuan pasal 241 Nederland Strafwetboek yang menjadi pasal 284 KUHP ini disesuaikan dengan ciri khas dari susunan penggolongan masyarakat di Hindia Belanda.
"Sehingga adanya persyaratan tertentu sebagaimana dirumuskan dalam pasal 27 BW," ujar dia.
Edi menambahkan, rasio dari ketentuan pasal 284 KUHP adalah untuk melindungi ikatan perkawinan. Namun, pasal 284 KUHP memandang ikatan perkawinan itu hanya meliputi suami dan istri saja padahal pengertian keluarga dalam masyarakat Indonesia itu meliputi anak-anak dan keluarga besar lainnya.
"Dalam konteks ke-Indonesia-an, harus dibaca sebagai perlindungan terhadap istri, suami dan anak dan keluarga lainnya. Jika bentuk perlindungan itu mencakup seluruhnya, maka rumusan pasal ini juga harus meliputi perzinaan yang dilakukan oleh anak, meski anak tersebut belum menikah," kata dia.
"Alangkah absurdnya kalau perzinaan yang dilakukan manusia yang tidak terikat perkawinan, itu dianggap bukan sebagai pelanggaran hukum," tambah dia.
Edi menegaskan tindakan remaja atau orang yang melakukan hubungan intim di luar perkawinan perlu diatur dengan hukum. "Jika tidak, maka masyarakat Indonesia dapat menjadi kumpulan binatang karena hanya binatanglah yang menginginkan kebebasan berzina," kata dia.
Edi membenarkan bahwa memang persoalan ini tidak hanya dapat diselesaikan dengan hukum tapi juga harus dengan pendidikan dan kesejahteraan serta bidang lainnya. Namun, dalam bidang hukum, lanjut dia, dikenal opsi nonpenal dan nonopsi penal, kedua opsi ini harus bahu-membahu menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran hukum yang terjadi dalam masyarakat.