Rabu 28 Dec 2016 20:09 WIB

Tilang Jadi Perkara Terbanyak Selama 2016

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Pelanggar lalu lintas hasil Operasi Zebra 2016 mengantre untuk mengikuti sidang tilang di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/12).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Pelanggar lalu lintas hasil Operasi Zebra 2016 mengantre untuk mengikuti sidang tilang di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyatakan persoalan penanganan lalu lintas pada 2016 di hampir tiap pengadilan menjadi perkara yang paling tinggi. Jumlahnya sekitar tiga juta sampai empat juta tiap tahun atau sebesar 96 persen dari jumlah seluruh perkara di pengadilan.

Untuk mengurangi perkara lalu lintas, di samping mempermudah dan mempercepat pelayanan penyelesaian perkara tilang di pengadilan, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA (Perma) nomor 12 tahun 2016 tentang tata cara penyelesaian perkara lalu lintas yang telah diundangkan pada 16 Desember 2016 kemarin.

"Diharapkan Perma ini mempermudah dan mempercepat pelayanan penyelesaian perkara tilang di pengadilan yang berbasis elektronik," kata dia dalam konferensi pers refleksi akhir tahun Mahkamah Agung di Gedung MA, Jakarta, Rabu (28/12).

Perma tersebut membuat pelanggar lalu lintas tidak perlu datang ke pengadilan dan menunggu berlama-lama di sana hanya untuk disidangkan. Pengendara yang melanggar cukup melihat putusan pada situs pengadilan yang bersangkutan dan membayar denda sesuai putusan lewat transfer ke bank yang ditunjuk.

Hatta mengakui, perkara pelanggaran lalu lintas memang sederhana tapi sensitif. Disebut sensitif karena banyak praktik percaloan yang bermunculan dan juga mengganggu arus lalu lintas di sekitar pengadilan. "Jadi melihat putusan pengadilannya di web pengadilan. Perkara tilang, eksekutornya adalah jaksa penuntut umum, bukan petugas pengadilan. Pengadilan hanya memutus. Rekeningnya masuk ke kejaksaan," tutur dia.

Namun, menurut Hatta, ke depannya, pengadilan dalam perkara pelanggaran lalu lintas sepenuhnya tidak perlu menentukan denda kepada pelanggar. Ia mengusulkan agar pengenaan denda terkait tilang tidak melibatkan pengadilan. Cukup pihak kepolisian yang menentukan denda yang dikenakan kepada pelanggar lalu lintas.

Saat ini, Hatta mengakui, pengadilan berdasarkan undang-undang tentang lalu lintas mempunya kewenangan menentukan denda yang dikenakan kepada pelanggar. Jadi, lanjut dia, pidana tilang ini, sebaiknya secara sepenuhnya tidak ditangani oleh hakim.

"Kalau memungkinkan, sebaiknya pengadilan itu tidak dilibatkan lagi dalam pengenaan denda. Cukup polisi yang menentukan seperti di beberapa negara. Kalau ada yang keberatan dengan denda barulah maju ke pengadilan. Di beberapa negara sudah menerapkan," kata dia.

Agar usulan MA itu bisa terwujud, perlu ada perubahan dalam undang-undang lalu lintas dan KUHAP karena beberapa ketentuan di dalam keduanya, hakim masih berwenang menentukan denda bagi pelanggar lalu lintas. Dia mengatakan, kalau undang-undang tersebut sudah direvisi, tentu lebih mempercepat pelayanan karena pengenaan denda itu ditentukan oleh polisi dan bukan oleh pengadilan.

"Ini suatu ide dari MA. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan. Ini suatu reformasi hukum yang juga dicanangkan oleh pemerintah sekarang ini," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement