REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) guna mencegah dan menanggulangi aksi terorisme di Indonesia. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius menyampaikan, data dan informasi statistik yang akan disusun dalam indeks risiko terorisme oleh BPS dapat membantu dan memperkuat strategi dalam penanganan aksi terorisme.
"Kegiatan kerjasama ini merupakan upaya nyata dari BNPT untuk memperkuat kajian berdasarkan data statistik secara nasional sehingga menghasilkan data strategi penanganan aksi terorisme secara interaktif dan berkelanjutan," kata Suhardi dalam acara Penandatanganan MoU Kerjasama Penyediaan serta Pemanfaatan Data dan Informasi Statistik Dalam Rangka Penanggulangan Terorisme, di Jakarta, Selasa (27/12).
Ia menegaskan, untuk mengatasi akar permasalahan dari aksi terorisme dibutuhkan keterlibatan dan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga, dan juga organisasi masyarakat. Sebab, aksi terorisme dikatakannya terjadi akibat beberapa faktor baik dalam negeri maupun luar negeri, termasuk masalah ketidakadilan, kemiskinan, kesejahteraan, sosial ekonomi, dll.
Ketidakadilan global pun dapat menjadi pemicu kelompok radikal menyebar kebencian di masyarakat. "Tapi yang paling mendasar adalah mindset secara kultural, secara ideologi yang harus kita sama-sama perangi. Pemahaman yang kurang mendalam terhadap ajaran-ajaran aqidah secara sempit juga menjadikan seseorang itu mudah terhasut oleh kelompok-kelompok radikal dan termotivasi untuk terlibat dalam aksi terorisme," tambah dia.
Dengan data dan informasi statistik dari BPS, lanjut Suhardi, dapat mendorong efektivitas penanggulangan terorisme serta mengukur dan memetakan potensi ancaman terorisme di seluruh Indonesia. Hasil dari pengolahan data tersebut diharapkan dapat menjadi informasi dalam memetakan radikalisme dalam bentuk potret risiko terorisme di berbagai daerah.
Selain itu, BNPT juga membawahi 25 kementerian guna mencegah berkembangnya paham radikal. Ia mencontohkan, kementerian sosial memiliki peran sosial untuk masuk ke wilayah-wilayah yang berpotensi radikal dengan cara membantu masyarakat untuk berwirausaha. Pendekatan secara humanis dan kekeluargaan, kata dia, perlu dilakukan.
"Anak-anak yang terpapar radikal ini adalah potensi untuk menjadi teroris-teroris baru tentunya kalau tidak disentuh oleh mereka, oleh kita semuanya. Oleh karena itu, mungkin dengan pendekatan secara humanis, pada keluarganya dengan memberikan kewirausahaan," jelas dia.
Lebih lanjut, Suhardi mengatakan, pencegahan aksi terorisme juga dilakukan dengan melibatkan mantan-mantan komandan jihad. Ia menilai, dengan keterlibatan para mantan komandan jihad ini dapat lebih efektif mencegah terjadinya tindakan radikal.
Selain itu, Suhardi mendorong kesiapan pemerintah daerah guna mengurangi dampak dari aksi terorisme ini. Tercatat, saat ini terdapat 218 napi teroris yang tersebar di 68 lembaga pemasyarakatan (lapas) dan satu rumah tahanan negara (rutan). Sejumlah daerah seperti Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, serta Sulawesi Tenggara pun menjadi daerah yang perlu mendapatkan perhatian.
"Artinya mereka yang tau persis itu di daerah. Artinya kepala daerah pun harus kita informasikan, bertanggung jawab juga. Kalau kami mengakses keamanan saja kalau pemda dengan seluruh akses yang ada, masalah sosial, pendidikan dia bisa sentuh," kata Suhardi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suharyanto, mengatakan dalam kerjasama ini BPS akan menyusun indeks risiko terorisme hingga di tingkat kabupaten dan kota. Sehingga terdapat gambaran dan dapat menjadi landasan dalam pengawasan dan evaluasi penanggulangan terorisme.
"Hulu dari permasalahan terorisme sangat kompleks multidimensional. Beragam sekali. Bisa jadi teror muncul karena ekonomi yang timpang. Sehingga pelaku merasa tidak dapat haknya, tidak dapat keadilan, ini jadi salah satu pemicu," kata dia.