REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra melihat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal penggunaan atribut keagamaan non-Muslim adalah hal yang wajar. Fatwa tersebut antara lain melarang orang Islam untuk menggunakan atribut non-Muslim dan mengimbau kepada pengusaha non-Muslim agar tidak memaksakan mengenakan atribut tersebut.
"Saya menganggap hal itu adalah wajar dan sesuai dengan fungsi Majelis Ulama yang antara lain berkewajiban untuk mengeluarkan fatwa terhadap sesuatu yang meragukan dan diperlukan adanya kepastian hukum dilihat dari sudut hukum Islam sebagai the living law (hukum yang hidup dalam masyarakat)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/12).
Menurut Yusril, cukup bijak apabila negara yang berdasarkan Pancasila ini mengimbau setiap orang menghormati fatwa tersebut. Negara pun hendaknya mengajak pengusaha non-Muslim secara persuasif agar menghormati fatwa MUI demi menghargai keyakinan keagamaan orang yang beragama Islam.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengatakan, saat Natal, toko, supermarket, dan pusat perbelanjaan telah cukup banyak memasang ornamen Natal, termasuk memutar lagu-lagi Natal. "Menurut hemat saya hal itu sudah lebih daripada cukup untuk menyemarakkan Natal bagi umat Kristen. Umat Islam tidak pernah mempersoalkan hal itu. Jadi kalau mewajibkan pekerja toko menggunakan atribut natal, padahal mereka bukan beragama Kristen, saya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berlebihan," kata pengacara senior ini.
Masyarakat, kata Yusril, harus menghormati keyakinan agama masing-masing dan tidak perlu membuat hal-hal yang dapat membuat sesuatu yang kurang enak di hati penganut agama yang lain. "Karena itu, saya berpendapat bahwa fatwa MUI itu adalah sewajarnya, patut dihormati oleh semua pihak dan tidak perlu pula ditafsirkan secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidakenakan pula kepada pihak-pihak di luar umat Islam," ujarnya.