Rabu 21 Dec 2016 00:30 WIB

Hakim Korupsi, Apa yang Salah?

Hakim korupsi
Foto:

Asas persamaan dihadapan hukum dapat dijadikan sebagai standar untuk kelompok-kelompok penguasa atau kelompok rakyat kecil. Akan tetapi disisi lain, karena ketimpangan kekuasaan saat ini, asas tersebut sering didominasi oleh penguasa sebagai tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya. Setiap orang diperlakukan sama, dengan tidak memperbedakan tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin dan lain-lainnya dimuka hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Asas ini diharapkan melingkupi setiap lapisan elemen masyarakat diantara lapisan sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Sampai saat ini masih menempatkan jurang yang menjadi pembeda antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi. Tidak diterapkannya secara equal (setara) bahkan seringkali diabaikan, menjadikan kepentingan kelompok tertentu lebih dikedepankan dibandingkan kepentingan publik dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis. Artinya, jika ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang, maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya baik orang mampu atau fakir miskin, mereka semua untuk memperoleh akses kepada keadilan.

Sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, ia harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Di Indonesia jabatan hakim sebagai suatu profesi, memiliki kode etik yaitu Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/ 2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dijadikan dasar perilaku dan tindakan profesi hakim.

Kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim. Dengan demikian, jika karakter telah terbentuk dan perilaku hakim didasarkan pada patokan, diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Dalam upaya mengawal penegakkan hukum yang bersih dan berkeadilan, Komisi Yudisial telah berhasil membuat rancangan dan mendorong terwujudnya Pedoman Etika Perilaku Hakim, yang didasarkan pada The Bangalore Principle of Judicial Conduct.

Akan tetapi, kasus-kasus penyimpangan profesi hakim seperti tersebut di atas bukan merupakan keadaan hakim hari ini pada umumnya. Sebab, masih banyak kebaikan yang ada, berupa kinerja para hakim yang tinggi, dimana masih banyak hakim yang baik dan berdedikasi baik serta idealis. Begitu pula kinerja Komisi Yudisial yang telah tercapai di dalam pengawasan terhadap hakim dan menjaga kehormatan serta harkat derajat hakim.

Hal ini sudah banyak yang berhasil. Di antaranya kenaikan gaji dan tunjangan hakim yang lebih tinggi dari sekarang. Hal ini akan menambah kesejahteraan para hakim yang akan mendukung naiknya citra hakim di hadapan keadilan dan masyarakat. Ini merupakan keberhasilan Komisi Yudisial dalam rangka tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement